Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
SELAIN “Taipau Madun” dan “Taipau Begereng”, ternyata kemaren lalu saya mendengar satu lagi jenis taipau, yaitu Taipau Hasanah. Ternyata bukan hanya bid’ah hasanah, tapi juga muncul “taipau hasanah”. Apa pula itu?
--------------
BEBERAPA waktu silam, di malam syukuran 66 tahun Datuk Sri Haji Emron Pangkapi, menjadi ajang berkumpul para tokoh-tokoh senior dan segelintir anak-anak muda Bangka Belitung di kediaman beliau di Jalan Balai Kota Pangkalpinang. Saya yang sejak pagi dan sore hari sudah dihubungi agar tidak absen pada kegiatan kumpul-kumpul malam itu. Karena memang sejak lama, saya sudah tinggal di pundok kebun tepi sungai di Desa Kemuja, jadi saya agak telat datang pada acara tersebut. Namun walaupun telat, ternyata oleh yang punya acara, saya yang harus memandu acara kumpul-kumpul tersebut. Sehingga acara belum juga dimulai, walau saya nyatanya memang telat hadir.
Ditengah kumpul-kumpul itu, saya persilahkan semua tokoh untuk berbicara sekilas tentang Datuk Sri Haji Emron Pangkapi dalam pandangan mereka masing-masing selama mengenal sosok yang disebut oleh Johan Murod (almarhum) sebagai “Datuk Dari Segala Datuk”. Ditengah diskusi penuh guyon hingga menjelang tengah malam tersebut, terlontar kalimat bahwa “urang Bangka itu rata-rata sukses karena memiliki karakter “taipau”, tapi jenis taipaunya adalah taipau hasanah”. Tawa ngakak tak terhindari ketika kalimat “taipau hasanah” itu terlontarkan oleh Datuk Sri Haji Emron Pangkapi, sebab selama ini kita hanya mengenal kalimat populer “bid’ah hasanah”.
Urang Bangka & Karakter Taipau
UNGKAPAN “Taipau” di daerah Bangka sudah menjadi kalimat yang sangat populer diberbagai kalangan. Seiring perjalanan zaman dan perkembangan bahasa, kalimat “Taipau” yang bermakna awalnya adalah sombong, angkuh atau sok ini pun menjadi berkembang seperti: “Taipau madun”, “taipau begereng” dan kini muncul “taipau hasanah” pula. Seiring perkembangan zaman juga, ternyata taipau yang dimaksud itu tidak melulu bermakna sombong, angkuh, riya’, sok alias belagu. Tergantung dalam situasi apa dan kondisi bagaimana mengeluarkan sifat atau perilaku tersebut.
Sebab, ternyata sifat “taipau” memang cukup mengakar dan menjalar dalam setiap pribadi kita sebagai manusia, terutama untuk orang-orang wilayah Sumatera. Apalagi seseorang yang memiliki sedikit kelebihan dibandingkan yang lainnya. Entah itu kelebihan fisik (cantik/tampan), harta, jabatan, keturunan, kemampuan dan berbagai kelebihan lainnya. Perilaku taipau juga mewabahi seluruh profesi di negeri ini serta merasuk ke dalam seluruh elemen masyarakat baik di perkotaan maupun pelosok desa. Jangan dikira tidak ada Kiyai taipau, Ustadz taipau, Pastor Taipau, Pendeta taipau, Tentara taipau, Polisi taipau, Pejabat taipau, Pengusaha taipau, Professor taipau, Penulis taipau, Sopir taipau dan sebagainya.
So, pointnya untuk memiliki sifat taipau itu setidaknya memiliki keberanian dan kecerdasan serta pergaulan yang luas. Kalau tidak, maka dipastikan justru menyempitkan pergaulan. Kemampuan menempatkan kapan dan dimana ber-taipau ria, maka ia tidak lagi bermakna angkuh, sombong atau sok-sok-an, tapi justru menjadi kekuatan dalam keakraban pergaulan dan mengurai canda tawa. Sebab para pelaku taipau, tetap menyadari bahwa kelebihan yang kita miliki itu hanya sangat terbatas dan hanya setetes saja, karena seperti pepatah mengatakan “diatas langit masih ada langit”. Begitu juga kecantikan/ketampanan hanyalah sementara yang tak kan pernah abadi. Kekayaan yang kita miliki hanyalah titipan yang pastinya bukan sepenuhnya milik kita.
Tak jarang kita dapati orang yang sebenarnya tidak seberapa pantas alias tak patut untuk taipau (sombong), tapi tanpa disadari ternyata ia masuk dalam kategori “taipau madun” atau “taipau begereng” tadi. Baru dekat dengan calon pejabat saja (timses) ia sudah melebihi taipaunya sang calon. Bahkan baru daftar jadi Caleg saja lagaknya sudah seperti orang Senayan. Perilaku taipau ini karena adanya sikap mentang-mentang, misalnya, karena merasa dekat atau memiliki keluarga Polisi/TNI, ia lebih angkuh (taipau) dari Polisi atau TNI itu sendiri, baru jadi orang dekat Pengusaha, atau baru sekali main proyek ia sudah seperti pengusaha besar saja. Ada benarnya apa yang orangtua kita dulu nasehatkan: “Orang yang baru belajar silat dan dapat satu atau dua jurus, biasanya kepengen berkelahi terus, sedangkan seorang Pendekar selalu berusaha menghindari perkelahian”. Jadi pointnya, untuk taipau saja di negeri ini tidak boleh sembarangan dan pandailah mengatur posisi dan memahami karakter diri.
Ternyata tidak semua bentuk taipau itu adalah belagak (belagu), angkuh, sombong, meninggikan diri atau melebihkan diri. Karena dalam hidup bersosial ini, ada juga tipe taipau yang berpura-pura merendahkan diri agar mendapat pujian. Orang yang pintar lalu sok bodoh, padahal orang tahu ia pintar, namun karena ingin mendapat pujian, ia bersikap seakan-akan. Termasuk juga orang yang sudah kaya dan semua orang tahu bahwa dirinya kaya, namun setiap ngobrol ia selalu berkoar-koar bahwa hartanya nggak seberapa hanya karena untuk mendapatkan pujian bahkan yang lebih parah kalimat “nggak seberapa” itu diriingi sambil mengabsen harta kekayaannya, ini juga termasuk dalam kategori “taipau begereng” atau “taipau madun” tadi.
Perilaku taipau juga kerapkali kita dengar dari ocehan orang-orang disekitar kita, termasuk juga di warung-warung kopi. Seringkali kita dengarkan orang-orang yang sudah sepuh, pensiun, tokoh di tengah masyarakat, dan bahkan pengangguran seumur hidup berkata dengan gagahnya: “Ko ne mun nek kaya lah dari duluk, tapi ko dak nek. Kite ne idup bukan nyari kekayaan bi” (Saya ini kalau mau kaya sudah dari dulu, tapi saya tidak mau. Kita ini hidup bukan hanya nyari kekayaan saja). Orang seperti ini patut kita ajukan kepada Jaya Suprana agar diberikan penghargaan MURI (Museum Rekor Indonesia), karena baru ditemukan jenis manusia baru di era modern ini bahwa ada orang yang tidak mau kaya padahal ia bisa kaya (menurut versi dia sendiri). Inilah beberapa contoh perilaku taipau, sok atau sombong yang kerapkali kita temukan dalam pergaulan, baik ucapan maupun perilaku.
Ada kalanya taipau harus dibalas juga dengan taipau seperti yang pernah saya lakukan saat masih kuliah di Kota Malang Jawa Timur. Seorang Dosen yang dikenal pintar namun juga populer di kalangan kampus sebagai sosok yang sangat taipau dan angkuh. Sang Dosen ini kerapkali saya pancing untuk berdebat di dalam maupun diluar kelas. Suatu hari ia mengejek sambil melempar buku karya saya yang baru saja terbit oleh penerbit ternama ketika jam pelajaran sedang berlangsung. Di akhir ejekannya ia pun berkata: “Saya kalau mau nulis buku, sudah banyak penerbit yang minta”. “Terus kenapa Bapak tidak mau menulis?” tanya saya heran. “Kalau saya nulis buku, buku yang kamu tulis ini nggak laku!”. Walaupun sedikit sedih dan geregetan, spontan saya menjawab: “Sama dengan saya Pak. Saya sering diminta ceramah, oleh banyak majelis, tapi saya nggak mau, takut Zainuddin MZ dan Aa’ Gym nggak laku” seluruh kawan di kelas pun tertawa ngakak karena jawaban taipau dari mulut saya secara spontan. Saat itu penceramah yang populer di Indonesia adalah almarhum K.H. Zainuddin MZ dan Abdullah Gymnastiar (Aa’ Gym).