CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki di Balik Kesedihan Rimba

Minggu 21 Jul 2024 - 08:14 WIB
Editor : Budi Rahmad

"Berpuluh-puluh tahun habitat bukit tak pernah diganggu warga Kampung. Tak ada warga Kampung yang berniat mengambil isi yang ada di dalam rimba di Bukit itu. Tak ada seorang pun. Baik yang miskin maupun yang kaya raya. Baik yang punya kekuasaan maupun rakyat jelata. Karena semua warga Kampung ini tahu kemanfaatan habitat yang ada di dalam bukit itu.  Kok tiba-tiba kamu ingin menguasai habitat yang ada dalam bukit itu. Saya tak habis berpikir dengan tata cara otakmu bekerja," ujar sang mertua dengan nada suara berbalut kekecewaan. 

Malam makin menjauh. Sejauh pikiran Pak Bos yang ingin menguasai habitat bukit kampung.  

Pak Bos akhirnya mampu menguasai habitat bukit itu secara legal. Surat kepemilikan atas bukit itu dimilikinya. 

Kekuatan yang dimilikinya tak mampu dilawan warga Kampung. Kekuatan modal dan jaringan  yang dimilikinya mampu menaklukkan birokrasi.  

Warga hanya  pasrah, Tak mampu melawan. Dan hanya dalam tempo enam bulan, bukit itu pun gundul. 

Tak berpenghuni. Tak ada lagi pohon-pohon besar. Tak ada lagi kerimbunan yang terlihat.  Tak ada lagi kawasan  hijau yang selama ini menjadi diorama bagi penduduk kampung saat menatap ke arah Bukit menjelang senja tiba sembari menemani anaknya bermain. 

Kini semuanya rata. Tak tersisa. Kini yang terlihat mata hanya sebuah hamparan bukit yang gundul tanpa pepohonan. Kering kerontang ditelan ambisi seorang manusia yang mengeksploitasi alam untuk kemakmuran hidupnya pribadi.

BACA JUGA:Puisi-Puisi Siswa Kelas XI-5 SMA Negeri 1 Sungailiat

Malam itu, hujan datang dengan sangat derasnya. Sebelum matahari terbenam, air dari langit mulai membasahi pemukiman Kampung. Frekuensi air yang datang makin lama makin besar dan sangat deras. 

Intensitas air yang datang makin tak terbendung. Dan dalam seketika, semuanya terjadi tanpa mampu dibendung oleh kekuatan manusia. Banjir melanda Kampung tanpa mampu terbendung. 

Jeritan dari warga terus membuat ingar bingar malam.  Bersahutan dengan teriakan minta tolong yang terus bergemuruh dari mulut penduduk. 

Malam sangat pekat. Tak ada senyuman dari cahaya rembulan. Suara kucing hutan pun tak terdengar. Duka mengaliri Kampung. Air mata warga membasahi tanah. Bercampur bersama derasnya air yang datang secara tiba-tiba tanpa mampu tertahan.

Hantaman air terus datang berlanjut tanpa mampu terbendung. Rumah-rumah penduduk roboh. 

Bangunan yang ada di kampung luluh lantak. Tercerai berai.  Dalam rentang waktu seketika, semuanya tinggal puing-puing. Hanya puing-puing.  

Tak ada yang tersisa. Termasuk rumah besar milik Pak Bos. Roboh diterjang air yang datang tanpa kendali. Tak ada yang terselamatkan. Tak ada sama sekali. Semuanya hanya tinggal puing-puing. Yang terdengar hanya suara kesedihan. Suara rintihan dari jiwa.

Pak Bos masih berdiam diri dalam barak pengungsian. Berdiam diri.  Tak ada suara. Tak ada rintihan. Tak ada desis. Seiring dengan terhentinya detak jantungnya. 

Kategori :

Terkait

Senin 02 Sep 2024 - 10:39 WIB

PUISI-PUISI SULTAN MUSA

Rabu 24 Jul 2024 - 18:30 WIB

CERPEN SOFHIE : Kontradiksi