Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
DEMOKRASI kita masih sebatas melahirkan orang-orang yang hanya
lantang soal KURSI, tapi keruas alias melempem soal PRESTASI.
-------------
KERUPUK atau kempelang adalah salah satu makanan atau cemilan khas masyarakat Bangka yang cukup dikenal dan biasa dijadikan oleh-oleh bagi relasi, tamu atau wisatawan yang datang ke Negeri Serumpun Sebalai.
Bahkan menurut Darmansyah Husein (mantan Anggota DPD RI) dulu sempat bercerita kepada Penulis di ruang kerjanya sebagai Bupati Belitung bahwa salah satu lobi yang digunakan dalam perjuangan pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung adalah dengan memberikan oleh-oleh kerupuk/kempelang khas Bangka kepada para pengambil kebijakan di DPR RI. Oleh karenanya tak heran jika dengan bercanda ia menyebut bahwa lobi-lobi pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini disebut dengan “diplomasi kerupuk” dan ternyata berhasil walaupun keberhasilan tersebut bukan karena kerupuk.
Kerupuk khas Bangka memang dikenal gurih dan renyah. Namun kegurihan atau kerenyahan makanan bernama kerupuk akan sirna dan menjadi sebaliknya kalau sudah melempem alias keruas. Jika kerupuk keruas itu hanyalah masalah kecil yang tidak perlu dibawa ke Mak Erot untuk diperbesarkan. Tapi ketika mental kerupuk apalagi kerupuk keruas merajai bahkan memimpin negeri ini, maka itu bukan lagi masalah kecil.
Karena mental-mental kerupuk ini adalah mental yang membuat orang gagal, mudah menyerah dan memiliki seribu alasan dibalik kegagalannya serta mudah mengeluh dengan keterbatasan bahkan menyalahkan orang lain sebagai penyebab kegagalannya (argumentum ad hominem).
Mental kerupuk adalah mental yang tidak mengenyangkan sebagaimana kerupuk hanya sebagai bahan makanan pelengkap bukan menu utama, apalagi kerupuk keruas pastinya tak akan ditoleh. Mental kerupuk adalah mental yang mudah pecah berkeping-keping dan gampang melempem. Ketika seorang pemimpin, pejabat atau wakil rakyat bermental kerupuk maka akan sangat berpengaruh besar terhadap keberlangsungan negeri ini.
Seorang kades/lurah bermental kerupuk maka akan berpengaruh pada staf-nya di desa atau kelurahan bahkan masyarakat desa yang ia pimpin. Seorang Bupati atau Walikota yang bermental kerupuk apalagi kerupuk keruas yang hanya lantang saat kampanye saja, tapi pas duduk sudah tak bernyali maka akan menjadi catatan sejarah sebagai mantan pemimpin bermental kerupuk keruas, apalagi kalau mental itu ada pada seorang Gubernur bahkan Presiden. Ironis, memalukan, memilukan sekaligus menjijikkan!
Hasil Pemilu dan Mental Kerupuk
Pemilu 2024 sudah selesai kita laksanakan calon wakil rakyat yang terpilih dan yang tidak terpilih sudah dinyatakan resmi oleh KPU. Kita sadari, bahwa era demokrasi “kebablasan” ini membuat siapa saja bisa menjadi wakil rakyat, menjadi Kepala atau Wakil Kepala Daerah (Bupati/Walikota/Gubernur dan wakil-wakilnya). Tak usah berbicara kredibilitas, yang dibutuhkan adalah isi tas. Tak usah bicara kemampuan, yang paling penting keuangan. Tak perlu bicara idealisme yang dibutuhkan untuk meraih jabatan adalah perilaku kanibalisme. Oleh karenanya janganlah heran ketika mereka-mereka yang duduk hasil euphoria “demokrasi rupiah” ini nantinya akan melahirkan mereka-mereka yang hanya lantang berbicara soal kursi (jabatan) dan melempem alias “keruas” soal prestasi. Rakyat tak boleh mengeluh, tak boleh menggerutu karena mereka sudah membeli dengan harga murah meriah dari kita untuk mendapatkan apa yang mereka impikan.
Rakyat jangan bermimpi jika para pengelola negara kita ini memiliki mental yang kokoh untuk membangun negeri, karena membangun mental mereka sendiri untuk tidak terbuai dengan harta, tahta bahkan wanita saja mereka masih membutuhkan waktu dan keberanian yang luar biasa. Rakyat tak usah berharap para pengelola negeri ini akan memikirkan kesejahteraan rakyat sepenuh hati karena memikirkan kesejahteraan pribadi dan keluarga serta simpanannya saja mereka tak pernah ada kata selesai.
Kok bisa? Karena isi negeri ini sepertinya sudah terlalu banyak bercokol mental-mental kerupuk keruas, baik pengelola negeri, apalagi rakyat. Kok rakyat disebut-sebut juga? ya iyalah, masak ya iya dong, duren aja dibelah bukan dibedong!