"Sehingga kami akan sampaikan masukan-masukan dalam rapat ini kepada stakeholder terkait," ujarnya.
BACA JUGA:Tipikor Timah, Kejagung Periksa 3 Evaluator RKAB dan 3 Swasta?
Sementara itu, Direktur PPS Patris menyampaikan pembenahan tata kelola pertambangan harus dilakukan dengan cara melibatkan semua stakeholder yang terkait dengan pertambangan, dilanjutkan dengan mengintervensi dan merumuskan permasalahan yang ada pada proses perizinan hingga penjualan termasuk proses reklamasi.
"Selanjutnya membuat kajian terkait mengenai pembenahan tata kelola pertambangan, kemudian mengajukan kajian tersebut untuk dirumuskan menjadi regulasi pertambangan, dan yang terakhir sosialisasi regulasi tersebut," pungkasnya.
Kementerian ESDM & RKAB
Lebih jauh, Patris menyatakan, Kementerian ESDM Republik Indonesia ragu menerbitkan dokumen Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) kepada pelaku usaha penambangan bijih timah. Keraguan ESDM itu akhirnya memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) di smelter timah Babel.
"Smelter ini tidak bisa beraktivitas karena belum memiliki RKAB, sehingga tenaga kerja di perusahaan tambang tersebut tidak mempunyai penghasilan atau di-PHK," ujar ujar mantan Aspidsus Kejati Babel itu menegaskan.
"Uniknya smelter timah ini, smelter ini ada namanya tungku. Apabila tungku ini sudah padam dan untuk memanaskannya kembali memerlukan waktu lama serta biaya sangat biaya besar, sehingga efek dari penegakan hukum ini akan ada smelter-smelter yang tidak beroperasi lagi," katanya.
"Penegakan hukum tata kelola timah ini akhirnya berdampak juga kepada penambang tradisional atau tambang rakyat, karena orang-orang yang dijadikan tersangka kemarin banyak diantaranya sebagai kolektor atau pengumpul hasil tambang rakyat, sehingga masyarakat tidak ada lagi tempat menjual hasil tambangnya," ujar Patris.***