Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
SEMAKIN banyak bermunculan golongan manusia gampang heran dan kaget dengan perkembangan diri, lingkungan, bahkan pemberitaan di berbagai media. Seringkali muncul fenomena yang menimbulkan kekagetan massal. Sehingga membuat kita terperosok ke dalam golongan manusia “bute baru mencelak”.
---------------------
BEBERAPA waktu lalusaya diajak ngobrol oleh 2 orang bapak setengah baya di jalan baru Kota Pangkalpinang. Obrolan singkat dengan orang yang tak saya kenal itu mengupas soal fenomena remaja yang sedang dalam masa puber kian menggila sepanjang jalan raya. “Atok Kulop, makin ancok budak kinek ne, seperadik. Budak mentinak tekaroh-karoh macem tu dak tau malu di sepanjang jalen, dak inga abenlah. Nginggel kepale kite ningok e. Ape agik malam minggu” ujar sang bapak kepada saya sambil melihat gerombolan remaja putra maupun putri dengan pakaian seronok di atas sepeda motor sepanjang jalan Kota Pangkalpinang yang gelap.
“Cube lah Pok tulis di koran perilaku budak-budak ne. Ringem dirik, urang tua entah ape piker aok dak ngerinah anak-anak macem tu” celetuk yang satunya. Saya yang sebenarnya mau cepat pulang akhirnya ikut nimbrung dan menyambung omongan kedua orang bapak setengah baya ini dengan kalimat kampung: “Mungkin ne lah Pak, salah satu fenomena ‘Bute baru mencelak’ atau ‘kaki baru tau ngejong’ kata urangtua kita duluk e”.
Memang, “bute baru mencelak” bermakna orang buta yang baru bisa melihat sebetulnya tidak hanya dalam fenomena remaja kita yang sedang puber sehingga menciptakan perilaku kelitet alias kegatelan. Tapi sindiran para orangtua kita dulu dengan kalimat “Bute Baru Mencelak” atau “Kaki Baru Tau Ngejong” ini termasuk kepada orang dewasa yang berperilaku kagetan. Misalnya orang miskin mendadak kaya, lantas kesana kemari memamerkan kekayaannya. Orang kecil tiba-tiba jadi pejabat, lantas berperilaku petantang-petenteng tanpa menyadari asal usul dirinya, sehingga muncul istilah “kaget struktural”. Orang pelosok yang tiba-tiba masuk kota besar, lantas berkoar-koar cerita mengenai kemewahan kota yang dibesar-besarkan. Termasuk juga para sarjanawan-sarjanawan yang baru di wisuda lantas pulang kampung dengan gaya taipau sok intelek, dan lain sebagainya.
Kita semua, umumnya cenderung memiliki ego, harga diri, emosi dan rasa besar diri serta rasa ingin tahu dan ingin menguasai yang tinggi. Apalagi misalnya ketika sesuatu yang kita impikan menjadi kenyataan setelah susah payah berusaha mendapatkannya, sedangkan orang lain tidak berhasil seperti kita. Jika karakter diri tidaklah kuat, maka pribadi-pribadi seperti ini akan gampang dicap sebagai manusia “bute baru mencelak”tersebut.
Oleh karenanya, dibalik setiap budaya di Indonesia terkandung nilai-nilai kebijaksanaan lokal (local wisdom), termasuk budaya tutur atau budaya lisan para orangtua kita di Pulau Bangka ini. Begitu juga dengan budaya Jawa sebagai salah satu budaya yang tertua di tanah air ini, juga memiliki pepatah atau idiom yang berasal dari warisan leluhurnya. Misalnya yang berkaitan dengan perilaku “bute baru mencelak” ini adalah ojo gumunan (jangan mudah kagum), ojo kagetan (jangan mudah terkejut), lan ojo dumeh (dan jangan sombong atau sok).
Sindiran atau pepatah yang disindirkan oleh orangtua kita dulu sebenarnya tak perlu terjadi jika kita memiliki karakter yang kuat, sehingga tidak mudah “gumun”, tidak gampang “kaget” dan akhirnya jauh dari perilaku “dumeh”.
Ada baiknya kita belajar kepada benda-benda yang ada di sekitar kita, misalnya: kacang panjang, walaupun sudah dipotong-potong menjadi pendek, tetaplah ia disebut kacang panjang. Daun kering yang tersiram air hujan, tetaplah ia disebut daun kering. Ikan asin yang sudah ditumis dengan cabe pedas atau buah asam, tetaplah ia disebut ikan asin. Bahkan ayam jago yang kalah dalam persabungan tetaplah ia disebut sebagai ayam jago. Begitupula ikan yang hidup ratusan tahun di lautan yang asin, namun ia tidak berubah menjadi asin. Juga kita bisa belajar dari uang kertas yang sudah lecek dan kumal, tetap tak berkurang sedikit pun nilainya alias sama nilainya dengan uang yang baru keluar dari percetakan.
Inilah yang disebut sebagai karakter diri, jati diri atau kepribadian. Oleh karenanya kita menyukai seseorang yang tak lupa akan asal usulnya, tidak berperilaku petantang-petenteng walau diri adalah seorang pejabat besar, tidak membodoh-bodohi orang lain karena merasa diri lebih pintar, tak pamer harta kekayaan walau baru saja mendadak kaya, tak mengumbar janji dan omongan karena memiliki wewenang atau sedang berkuasa dan lain sebagainya.
Tapi bagi jiwa yang tak memiliki karakter yang kokoh, umumnya seringkali kaget dengan perubahan yang ada dalam dirinya. Bahkan yang lebih parah adalah orang-orang terdekat atau keluarganya yang tiba-tiba “kaget struktural”. Misalnya, karena ada keluarganya jadi pejabat, justru ia yang taipau begereng atau taipau madun sehingga berperilaku petantang-petenteng. Bahkan kalau ada yang mengkritik atau dianggap mengkritik langsung bertindak membabi buta dengan mengirim SMS bernada hujatan. Ini pernah (sangat sering) lho, saya alami ketika menulis opini di media massa dan dianggap mengkritik salah satu keluarganya yang jadi pejabat. Namun tak pernah saya ladeni karena memang saya tak mau ikut-ikutan jadi manusia kaget. Apalagi ketika saya dianggap dekat dengan pejabat atau bahkan menjadi stafsus (Staf Khusus) Pj Gubernur Kep. Bangka Belitung, Dr. H. Safrizal, ZA, ternyata semakin menambah deretan WhatsApp yang masuk, bahkan paling banyak ke nomor WA Pj. Gubernur yang mempertanyakan kredibiltas saya bahkan melaporkan tentang diri saya. Alhamdulillah, ternyata saya mengenal yang melakukan itu dan terdiam sebab tak menyangka saja.
Kembali ke pembahasan “bute baru mencelak”, 2024 ini kita pasti menyaksikan akan lahir manusia-manusia kagetan alias “bute baru mencelak” dan kaki baru “tau ngejong” yang berada di kantor Wakil Rakyat. Kaget karena tiba-tiba menjadi pejabat yang biasanya sarungan tanpa baju, harus pakai busana rapi bahkan jas dan dasi. Yang biasanya cuma di kebun dan paling jauh ke Kota Pangkalpinang, tiba-tiba diongkosin oleh negara untuk studi banding ke berbagai kota di seluruh Indonesia.
Tapi begitulah umumnya perilaku manusia, yang gampang heran dan kaget dengan perkembangan diri, lingkungan, bahkan pemberitaan di berbagai media. Apalagi kita yang hidup di Indonesia yang notabene baru merangkak belajar berdemokrasi, seringkali muncul fenomena yang menimbulkan kekagetan massal. Sehingga membuat kita terperosok ke dalam golongan manusia “bute baru mencelak” tadi sebagaimana para ABG (Anak Baru Gede atau Anak Baru Gatel) yang baru merasa dewasa dengan mengumbar kedewasaannya di jalanan. Oleh karenanya menghadapi fenomena tersebut, tantangan terbesar dari penerapan pandangan hidup sekarang ini adalah menata diri, menata emosi dan mengkokohkan karakter diri.