Bagas dan Gita mengambil paket politik dari Abang Paket dengan sangat hati-hati. Mereka belum tahu. Jika tak hati-hati, paket kali ini akan membahayakan.
Bagas dan Gita masih memeriksa dengan teliti apa yang ditawarkan oleh paket itu. Mereka tak segera membuka paket unik. Anak-anak polos saya masih berjaga penuh waspada, jangan-jangan paket itu berisi mesin peledak atau bom waktu yang menghancurkan semua orang.
Bungkusnya sih menarik. Sekilas orang yang melihat akan tergoda untuk segera membukanya. Tapi memang dasar Bagas dan Gita dianugerahi rasa ingin tahu, mereka pun bertanya pada saya, kok paket sore ini bukan barang pesanan yang biasanya menyenangkan.
Paket kali ini tampak panas mungkin di dalamnya ada ranjau. Bagas dan gita pasti lebih peka dibandingkan saya yang lebih dewasa. Naluri anak yang belum punya dosa lebih tajam dibanding orang tua.
Paket yang datang seharusnya membuat hidup Bagas dan Gita semakin bahagia, bukan paket yang membuat karier saya menjadi di ujung tanduk.
Kelihatannya paket politik adalah bingkisan yang sangat mewah, padahal itu adalah paket yang membuat jantung kehidupan orang tuanya menjadi berdebar kencang.
Ada orang bermuka dua berlindung di bawah pohon besar. Ada juga manusia berkepala tikus menunggangi sapi. Terlepas gambar itu nyata atau tidak, tetap saja bisa membuat kening anak kecil berkerut.
BACA JUGA:CERPEN: Tak Ada Lagi Lahan Kosong untuk Kuburanku Nanti
##
Saya masih saja berpikir tawaran untuk bergabung dengan partai berkuasa. Tawaran jabatan kepala tampaknya menggiurkan, tapi setelah melihat reaksi anak-anak tampaknya paket politik ini akan membawa dampak kurang bagus.
Memang kedudukan kepala-kepala atau sejenisnya itu penting. Saya yang sedari muda identik dengan idealisme akan lebih lancar bila menjadi pemimpin. Sedari pertama kali bekerja, tidak pernah rasakan menjadi orang yang memerintah.
Bertahun lamanya saya menjadi pesuruh. Atasan saya memang selalu mengambil untung dari kompetensi yang saya punya.
Apa sih yang tidak saya bisa? Apalagi tampaknya di era yang harus melalui vaksinasi, kebohongan menjadi barang halal, sedangkan kejujuran belum tentu menentukan segalanya.
Bagas dan Gita yang masih TK saja tahu, orang-orang penikmat paket politik sore-sore lebih dipakai dibanding orang jujur.
Karena paket politik itu tertuju untuk saya, mau tak mau saya sendiri yang harus menerima risiko membuka dan mengetahui isi paket itu. Anak saya yang masih duduk di taman kanak-kanak lebih berani dan tanpa beban mengulak alik dan coba menebak.
“Pak, pengirimnya dari orang dalam!”