''Kami mMenyimak dengan seksama Konfrensi Pers Kejagung RI tanggal 29/05/24 terhadap Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah tahun 2015-2022, dengan nilai tidak main-main, fantastis, mencapai Rp. 300 Triliun. Sebagai sesorang lawyer, kami merasa sangat heran dan bertanya-tanya,'' cetus Jhohan lagi.
BACA JUGA:Tipikor Timah, Kejagung Kembali Masif Periksa Saksi
Di sisi lain,UU Nomor 31/99 tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20/2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum, merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
''Lalu timbul pertanyaan, apakah nilai kerusakan ekologis termasuk nilai kerugian negara dalam tindak pidana tersebut? Saya jawab, bisa, tetapi dengan tanda kutip “Jika dipaksakan” atau dalam dialek Bangka, saya menyebutnya “daripada malu muka alung masukken bai”., kenapa? Sebab pada pasal 1 ayat 22 UU Nomor 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kerugian Negara/Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai,'' tugas Jhohan.
Nilai kerusakan ekologis sebesar RP. 271 Triliun bukan dihitung dari Kerusakan yang diakibatkan dari kasus Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah pada tahun 2015-2022 (7 Tahun), tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini, artinya kerusakan tersebut telah dimulai jauh sebelum itu, bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kolonialisme, sampai Kegiatan illegal Mining yang dilakukan oleh hampir mayoritas masyarakat Bangka Belitung saat ini, sangat tidak fair jika kerusakan akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya dilimpahkan oleh ke-22 tersangka ini.
BACA JUGA:Korban PHK Smelter dan Pabrik Sawit, Pesangon Berharap dari Rekening yang Diblokir Kejagung?
''Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis RP.271 Triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan/dibayarkan ke 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait, Pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan 1. Pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana Jaminan Reklamasi dan/atau dana Jaminan Pascatambang,' ujarnya.
Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).n dan ketiga Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan
Reklamasi dan/atau Pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Termasuk juga dana-dana lain yang dapat dikategorikan sebagai pendapatan negara, termasuk keterbukaan lapangan pekerjaan.
8. Jika nilai kerusakan ekologis menjadi bagian dari kerugian negara maka seharusnya ke 22 orang tersangka ini hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis yang dilakukan pada medio 2015 s/d 2022 saja.
BACA JUGA: Pejabat ESDM Babel Terus Diperiksa Kejagung, Siapa Susul Amir Syahbana Cs?
''Bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik kepada Sdr. Thamron juga sangat tidak berdasar dan perlu untuk dikritisi, contohnya saja salah satu rekening perusahaan PKS (Pabrik Kelapa Sawit) yaitu CV. Mutiara Alam Lestari juga ikut disita, padahal pabrik itu secara pendiriannya sejak 2007 tepatnya tanggal 18 April 2007 dan beroperasional secara penuh pada tahun 2011-an, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus Tata Niaga Timah tahun 2015-2022 yang sedang disidik oleh penyidik Kejagung RI, seperti raup abu seolah-olah apapun yang berbau dan berhubungan dengan “Thamron” harus disita.
''Sehingga mengakibatkan terganggunya dana operasional, gaji, pesangon dan ada 600an orang-orang yang kehilangan pekerjaan akibat gelombang PHK serta susahnya ribuan petani dan pekebun Sawit pada 2 Kabupaten yaitu Kabupaten Bangka Tengah dan Bangka Selatan imbas dari penyitaan rekening ini,'' tegas Jhohan.***