Jhohan: Kejagung dan BPKP Tidak Fair, Penambangan itu Sejak Kerajaan Sriwijaya dan Kolonial

Rabu 05 Jun 2024 - 11:35 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

KORANBABELPOS.ID.- Masuknya nilai kerusakan ekologis sebesar RP. 271 Triliun dalam hitungan kerugian kasus Tipikor timah 2015-1022 yang tengah diusut Kejagung saat ini, dinilai oleh pengacara Thamron alias Aon Cs, Dr (Cand) Jhohan Adhi Ferdian, S.H.,M.H. selaku Managing partners, sangat tidak fair.

Kerusakan yang diakibatkan dari kasus Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah pada tahun 2015-2022 (7 Tahun), tetapi dihitung berdasarkan kerusakan Bangka Belitung saat ini, artinya kerusakan tersebut telah dimulai jauh sebelum itu.

''Bisa saja pada masa Kerajaan Sriwijaya, Kolonialisme, sampai Kegiatan illegal Mining yang dilakukan oleh hampir mayoritas masyarakat Bangka Belitung saat ini, sangat tidak fair jika kerusakan akibat aktifitas pertambangan yang dilakukan oleh kerajaan Sriwijaya dilimpahkan kepada ke 22 tersangka ini,'' ujar Jhohan.

BACA JUGA:Rocky: Kasus Timah Ditutupi Demi Kepentingan Bersama, Polri-Kejagung Bermasalah?

''⁠Jika BPKP memasukkan kerusakan ekologis  RP.271 Triliun sebagai bagian dari kerugian negara, semestinya BPKP juga menghitung nilai jaminan reklamasi yang telah disetorkan/dibayarkan ke 6 perusahaan smelter tersebut pada kementerian terkait,  Pasal 100 UU Nomor 3/2020 menyatakan 1. Pemegang IUP atau IUPK wajib menyediakan dan menempatkan dana Jaminan Reklamasi dan/atau dana Jaminan Pascatambang,' ujarnya. 

Menteri dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan Reklamasi dan/atau Pascatambang dengan dana Jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).n dan ketiga Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP atau IUPK tidak melaksanakan Reklamasi dan/atau Pascatambang sesuai dengan rencana yang telah disetujui. Termasuk juga dana-dana lain yang dapat dikategorikan sebagai pendapatan negara, termasuk keterbukaan lapangan pekerjaan.

''⁠Jika nilai kerusakan ekologis menjadi bagian dari kerugian negara maka seharusnya ke 22 orang tersangka ini hanya bertanggung jawab terhadap kerusakan ekologis yang dilakukan pada medio 2015 s/d 2022 saja,'' tegasnya.  

BACA JUGA: Kejagung akan Jemput Paksa dan Tahan Hendry Lie

''Kami Menyimak dengan seksama Konfrensi Pers Kejagung RI tanggal 29/05/24 terhadap Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah tahun 2015-2022, dengan nilai tidak main-main, fantastis, mencapai Rp. 300 Triliun. Sebagai sesorang lawyer, kami merasa sangat heran dan bertanya-tanya,'' cetus Jhohan lagi.

⁠Bagaimana tidak, pernyataan pada konfrensi pers tersebut mengartikan terdapat fakta bahwa nilai kerugian negara secara real hanya sebesar Rp. 29.499 Triliun, terdiri dari adanya dugaan harga sewa smelter oleh PT Timah sebesar Rp 2,285 triliun. Yang kedua adalah pembayaran bijih timah ilegal oleh PT Timah kepada mitra tambang PT Timah sebesar Rp 26,649 triliun, tetap nilai yang besar.

''Tetapi hal ini justru sangat kecil jika dibandingkan nilai yang digaung-gaungkan pada awal kasus ini dibuka yaitu sebesar Rp. 271 Triliun, Dimana saat itu semua mata tertuju pada Kejagung RI.  ⁠Nilai Rp. 300 Triliun tersebut rupa-rupanya nilai total dari nilai kerugian Rp. 29.499 Triliun ditambah nilai kerusakan ekologis sebesar Rp. 271 Triliun, sehingga kami menilai masuknya nilai kerusakan ekologis menjadi nilai kerugian negara sangat amat dipaksakan, karena mereka (penyidik) sudah terjebak sejak awal kasus tata niaga komoditas timah ini, yaitu pada nilai yang mereka siarkan sendiri sebesar RP. 271 Trilliun, padahal nilai tersebut dipertanyakan oleh banyak ahli dan pengamat hukum bukan sebagai nilai kerugian negara pada tindak pidana korupsi tersebut,' tegasnya.

BACA JUGA:Tipikor Timah, Kejagung Kembali Masif Periksa Saksi

Di sisi lain,⁠UU Nomor 31/99 tentang Tindak Pidana Korupsi jo UU Nomor 20/2001 menyatakan bahwa tindak pidana korupsi sebagai salah satu unsur perbuatan melawan hukum, merupakan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Jhohan juga mengkritisi soal penyitaan harha Aon Cs.  

''Bahwa tindakan penyitaan yang dilakukan penyidik kepada Sdr. Thamron juga sangat tidak berdasar dan perlu untuk dikritisi, contohnya saja salah satu rekening perusahaan PKS (Pabrik Kelapa Sawit) yaitu CV. Mutiara Alam Lestari juga ikut disita, padahal pabrik itu secara pendiriannya sejak 2007 tepatnya tanggal 18 April 2007 dan beroperasional secara penuh pada tahun 2011-an, tidak ada hubungannya sama sekali dengan kasus Tata Niaga Timah tahun 2015-2022 yang sedang disidik oleh penyidik Kejagung RI, seperti raup abu seolah-olah apapun yang berbau dan berhubungan dengan “Thamron” harus disita,'' ujar Jhohan.

Kategori :