Dalam era globalisasi yang semakin terbuka, semakin banyak penduduk Indonesia yang berpindah ke luar negeri untuk berbagai tujuan, seperti pendidikan dan pekerjaan.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2020, terdapat sekitar 9 juta Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri. Dengan jumlah yang signifikan ini, banyak WNI yang juga menikah di negara-negara tersebut. Namun, pencatatan perkawinan seringkali menghadapi kendala karena perbedaan sistem hukum dan prosedur di setiap negara.
Oleh Raply Anugrah (Mahasiswa Hukum Universitas Bangka Belitung)
Di Indonesia, pencatatan perkawinan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Undang-Undang ini menekankan pentingnya pencatatan setiap perkawinan untuk menjaga ketertiban administrasi dan kepastian hukum. Untuk perkawinan WNI di luar negeri, prosedurnya diatur dalam Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 20 Tahun 2019 tentang Pencatatan Perkawinan di Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri.
Meskipun terdapat regulasi yang mengatur, WNI masih menghadapi berbagai tantangan dalam proses pencatatan perkawinan di luar negeri. Perbedaan sistem hukum dan prosedur di setiap negara dapat menyulitkan proses tersebut.
Selain itu, keterbatasan sumber daya manusia dan fasilitas di Kantor Perwakilan Republik Indonesia (KPRI) atau Kantor Urusan Agama (KUA) setempat juga menjadi hambatan. Kurangnya sosialisasi dan pemahaman masyarakat tentang pentingnya pencatatan perkawinan di luar negeri juga menjadi masalah.
Meskipun demikian, pencatatan perkawinan di luar negeri sangat penting bagi WNI. Hal ini memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pasangan dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut. Tanpa pencatatan, status perkawinan dan anak-anak bisa menjadi tidak jelas secara hukum, yang dapat menimbulkan masalah di masa depan. Sebagai contoh, anak yang lahir dari perkawinan yang tidak tercatat dapat mengalami kesulitan dalam pengurusan akta kelahiran, pendidikan, dan hak-hak lainnya. Selain itu, jika terjadi perceraian, pengurusan hak asuh anak dan pembagian harta gono-gini akan menjadi lebih rumit tanpa adanya bukti pencatatan perkawinan yang sah.
BACA JUGA:Kepailitan! Antara Penyelamat dan Pembunuh Usaha Debitur
Selain itu, pencatatan perkawinan di luar negeri juga mempermudah proses administrasi dan pengurusan dokumen lainnya, seperti akta kelahiran anak, paspor, atau akta cerai jika terjadi perceraian di masa depan. Tanpa pencatatan yang sah, proses-proses tersebut akan menjadi lebih rumit dan membingungkan.
Pencatatan perkawinan di luar negeri juga memiliki dampak positif terhadap ketertiban administrasi kependudukan di Indonesia. Dengan data kependudukan yang akurat dan terkini, pemerintah dapat melakukan perencanaan dan pengambilan kebijakan yang lebih efektif terkait dengan penduduk, seperti penyediaan layanan pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.
Untuk mengatasi hambatan dalam pencatatan perkawinan di luar negeri, diperlukan kerjasama dan komitmen dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga terkait, dan masyarakat. Langkah pertama adalah meningkatkan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pencatatan perkawinan di luar negeri serta prosedur yang harus diikuti.
BACA JUGA:Menanti 'Jamu' untuk Para Pelaku Usaha dan Perbankan
Sosialisasi ini dapat melibatkan organisasi masyarakat Indonesia di luar negeri dan lembaga pemerintah terkait. Selain itu, perlu untuk memperkuat peran KPRI atau KUA di luar negeri dalam memberikan layanan pencatatan perkawinan dengan meningkatkan kapasitas sumber daya manusia, menyediakan fasilitas yang memadai, dan memastikan proses yang efisien.