BACA JUGA:CERPEN: Kebaikan Hati Si Beruang Madu
Dalam hitungan detik email pun terkirim. Markudut lega. Sangat lega. Ada perasaan bahagia yang menjalari seluruh tubuhnya.
Markudut bak selebritis di Kampungnya. Orang-orang membicarakannya. Dari anak muda hingga orang dewasa. Dari gadis hingga para janda.
Nama lelaki setengah baya itu menjadi buah bibir. Bahkan Markudut kini sudah merasakan bagaimana nikmatnya menjadi seorang selebritis kendati tingkatnya cuma lokal, level Kampung.
Beberapa kali ke pasar hendak membeli keperluan dapurnya, Markudut tak boleh membayar barang beliannya.
“Tidak usah dibayar Pak Pengarang. Ambil saja. Yang penting bapak tidak mencerpenkan saya di koran,” ujar seorang pedagang saat Markudut hendak membeli sebuah ember untuk keperluan istrinya mencuci.
Demikian pula ketika pada suatu pagi yang sinar mentari enggan terbangun dari mimpi panjangnya, seorang juragan sapi kampung menolak untuk menerima uangnya.
“Untuk Pak pengarang, gratis. Yang penting Pak pengarang menulis cerpen tentang harga sapi akan naik,” ujarnya sembari menolak uang pembayaran dari Markudut.
Bukan hanya Markudut yang mengalami gagal bayar. Sang istrinya mengalami hal yang sama. Saat hendak membeli keperluan bulanan, pemilik toko menolak pembayaran uangnya.
Pemilik toko cuma berpesan kepada istri Markudut untuk membuat cerpen tentang tokonya biar makin laris dan ramai dikunjungi warga.
BACA JUGA:Puisi-Puisi Siswa Kelas XI-5 SMA Negeri 1 Sungailiat
“Tidak usah dibayar Ibu Pengarang. Yang penting bilang kepada Pak Pengarang untuk membuat cerpen tentang toko kami biar ramai dikunjungi pembeli,” ujar pemilik toko dengan ramah.
Istri Markudut terdiam bercampur bingung. Tak enak hati rasanya tidak membayar. Apalagi barang yang dibelinya cukup banyak. Maklum untuk keperluan sebulan.
Purnama bercahaya dengan indahnya. Kerlap kerlip kunang-kunang menambah keindahan malam itu. Sementara suara ayat-ayat suci terus mengalun dari masjid. Menambah kesakralan malam.
“Saya heran Pak. Kok orang-orang nggak mau dibayar saat saya belanja,” ungkap istri Markudut sembari membawa kopi untuk suaminya yang sedang duduk di teras belakang rumahnya.
“Iya, Bu. Saya juga demikian. Tak ada pemilik toko yang mau menerima pembayaran saya,” jawabnya sembari menyeruput kopi buatan istrinya.