Dalam banyak komentar di media sosial, masyarakat justru melontarkan pertanyaan balik, “Kalau harus dari masyarakat lagi, lalu uang pajak kami ke mana?” atau komentar semacam, “Saya lebih rela pajak yang saya bayar digunakan untuk membayar gaji guru, daripada membayar pejabat yang korupsi!” atau “Yang membebani keuangan negara itu bukan guru, tapi koruptor!” Terdapat banyak variasi tanggapan pedas senada dari para netizen yang dapat dibaca sendiri oleh pembaca di berbagai postingan video terkait.
Maka benarlah kata pepatah bahwa tidak akan ada asap bila tidak ada api. Dilihat dari sisi kronologi persoalan yang menggemparkan tanah air ini, dapat diasumsikan bahwa potongan video “guru itu beban negara” merupakan tafsiran dari sebagian masyarakat atas dasar pertanyaan yang dilontarkan oleh Menkeu Sri Mulyani.
Pertanyaan dari seorang menteri keuangan tentang gaji dan tunjangan guru apakah harus dari keuangan negara dipandang sebagai pernyataan tidak langsung bahwa guru membebani keuangan negara sehingga perlu dibantu dan dicarikan solusinya oleh masyarakat. Sayangnya, tafsiran itu diekspresikan dalam bentuk video AI (artificial intelligence) yang memuat ketidakakuratan. Hasilnya seolah Menkeu Sri Mulyani secara vulgar mengatakan bahwa guru adalah beban negara.
Tentu kita semua sepakat bahwa penyebaran berita bohong di tengah-tengah masyarakat adalah perbuatan yang tidak terpuji. Bagaimanapun penyebaran hoaks adalah sebuah tindakan melanggar hukum. Namun, dalam kasus ini, asap keresahan di tengah masyarakat patut diduga dipicu oleh api yang ditimbulkan dari ucapan seorang pejabat negara.
Mirisnya, ini bukanlah kejadian pertama. Salah ucap atau ucapan ‘tajam’ dari kalangan pejabat kepada rakyat hari-hari ini seolah menjadi fenomena biasa. Apa saja deret pernyataan itu, pembaca dapat dengan mudah menemukannya di kolom pencarian peramban di internet.
Lalu, pelajaran apa yang bisa kita ambil dari kejadian viral ini? Pertama, sebagai seorang pejabat negara, sudah seharusnya berhati-hati dalam memilih kata dan kalimat yang digunakan dalam komunikasi publik. Terlebih menyangkut kebijakan penting. Seorang filsuf sekaligus pengamat politik, Rocky Gerung sering kali mengingatkan tentang pentingnya membangun komunikasi publik yang efektif.
Rocky menilai bahwa kerap kali kebijakan pemerintah gagal dieksekusi akibat dari kegagalan komunikasi publik ini. Apalagi dalam situasi ekonomi masyarakat yang serba tidak menentu, segala informasi yang bernada tak simpatik dari kalangan pejabat dapat menjadi pemantik kemarahan publik. Di sisi lain, tentu saja besar harapan rakyat bahwa kebijakan yang dikeluarkan negara, menyangkut perkara apa pun itu, selalu berpihak pada kepentingan rakyat.
Kedua, betapa pentingnya melakukan cek-ricek terhadap informasi apa pun yang kita terima, terutama di media sosial. Saat ini kita hidup di era post-truth dengan ciri khas informasi palsu yang dengan mudah mengalir deras hingga seolah melebihi fakta kebenaran. Yang lebih memprihatinkan, berita palsu inilah yang justru sering kali lebih memengaruhi persepsi masyarakat.