Anak-anak muda kita pun sudah kian susah membedakan mana arak mana teh kotak, mana, mana alcohol mana teh botol, mana susu kental manis mana ingus, mana yang jadi tuntunan dan mana yang sekedar jadi tontonan.
Sekarang ini, hari-hari rakyat adalah hari-hari kesunyian dalam negara. Rakyat Indonesia sekarang dan yang akan datang sepertinya akan terasing di dalam rumah sejarahnya sendiri. Kita telah menciptakan penjara-penjara politik yang pengap, hukum yang njlimet dan bodoh, aparat yang bermental keparat, menyesakkan, mencambuki pungung saudara sendiri. Penjara-penjara ekonomi kian kotor, penjara-penjara kebudayaan yang wajahnya kian gemerlap tetapi membuat lubuk nuraninya lenyap ke ruang-ruang hampa tanpa makna dan kearifan.
Manusia-manusia Indonesia (pejabat) saat ini telah menciptakan penjara-penjara sampai akhirnya rekayasa-rekayasa untuk mempertahankan eksistensi penjara-penjara itu menjelma menjadi penjara tersendiri yang lebih dahsyat kungkungannya. Inilah titik nadir dari sebuah demokrasi yang kian “ngerameng” dan bodoh.
Selamat datang di negeri “ngerameng”. Kalau dulu hanya ada 4 jenis manusia yang “dimaafkan” dalam sikap ngerameng: (1) bayi atau anak kecil (2) orang tua yang sudah pikun (3) orang gila (4) orang yang sedang tidur (ngigau) atau orang yang kesurupan. Maka sekarang siapapun boleh “ngerameng”, semakin tinggi jabatanmu, semakin berbintang pundakmu, semakin populer dirimu, maka “ngerameng”-lah, mumpung orang “ngerameng” sedang dibutuhkan oleh negeri ini.
Ah, sudahlah! bicara soal demokrasi “ngerameng” ternyata saya sendiri pun begitu. Buktinya, tulisan saya ini juga termasuk dalam kategori tulisan “ngerameng”.
Salam Ngerameng!(*)