Pulau Tujuh (7 Eiland) (2)

Pulau Tujuh (7 Eiland) (2)

Rabu 18 Jun 2025 - 16:15 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Dalam rangka mengamankan wilayah perairan pulau Bangka dan menguasai pulau Bangka sebagai sumber kekayaan Kesultanan, maka kemudian Sultan Palembang Darussalam Muhammad Bahauddin (Tahun 1776-1803) membagi wilayah pulau Bangka atas wilayah Utara dan Barat pulau Bangka yang berpusat di Mentok dan Wilayah bagian Selatan pulau Bangka termasuk pulau Lepar dan pulau Belitung yang berpusat di Toboali. Wilayah Barat dan Utara dikuasakan kepada Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala dan untuk penguasaan wilayah Selatan pulau Bangka diserahkan kepada Pangeran Adiwijaya (saudara sultan sendiri). Sultan Kesultanan Palembang Darussalam kemudian mengutus Kemas Ismail, Ngabehi Hasan, Ngabehi Abdullah dan Raden Djakfar untuk membantu Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala mengamankan wilayah perairan Utara dan Barat pulau Bangka. Raden Djakfar merupakan Putera dari Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo yang menikah dengan perempuan Mentok bernama Yang Maryam. Sementara untuk wilayah Selatan pulau Bangka Sultan Palembang mengutus Raden Keling, Raden Ahmad, Raden Badar, Raden Ali dan Raden Sa’bah. Para Raden dan pangeran yang diutus oleh sultan adalah merupakan kerabat dekat sultan sendiri, dan di Bangka Selatan mereka kemudian menjadi kepala kepala rakyat. Menurut “Thomas Horsfield, dalam Report on the Island of Banka, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, 1848. Vol. 2. hal. 299, salah satu tokoh dari pulau Bangka yang berhasil mengalahkan Panglima Raman dalam pertempuran di Utara Pulau Bangka adalah Demang Minyak yang kemudian oleh Kesultanan Palembang dianugerahi gelar Demang Surantaka (beliau lahir di Sungaibuluh Bangka, ayahnya berbangsa Cina yang berkerabat dengan orang Rayad melalui hubungan perkawinan). 

Pada saat Inggris mulai menancapkan kuku kekuasaannya di Malaka (Tahun 1795) dan mulai berupaya menguasai wilayah Sumatera Timur, Kepulauan Riau dan Bangka Belitung, Sultan Mahmud Riayat Syah pada Tahun 1811, melakukan kerjasama dengan Inggris dan menyanggupi untuk memberikan sebuah kapal penjajab beserta prajurit dan persenjataan kepada Inggris. Tampaknya kerajaan Inggris mulai ikut meramaikan situasi ekonomi dan politik di kawasan Selat Malaka, dan Selat Bangka, disamping kekuatan Belanda yang sudah lebih dulu menguasai kawasan perdagangan yang ramai di perairan Bagian Barat Nusantara, terutama pada kawasan Selat Bangka dan perairan Bangka Belitung yang merupakan jalur utama perdagangan Lada dan Timah. Persekutuan antara Sultan Mahmud Riayat Syah dengan Inggris terjadi pada Tahun 1811, sampai beliau wafat pada 12 Januari 1812 dan eksistensi Kerajaan Lingga-Riau-Johor-Pahang tetap berdaulat dan menguasai wilayah perairan pulau Bangka bagian Utara dan wilayah kepulauan Lingga.

Pada masa Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court berkuasa (Tahun 1813 Masehi) di Mentok, Ia diminta oleh kepala-kepala rakyat di Mentok (terutama keluarga Abang Abdoelraoef) untuk mengajak pulang orang-orang Bangka (Mentok) di Lingga dan Singkep, akan tetapi hanya sebagian yang ingin pindah kembali ke Mentok, dan sebagiannya lagi lebih senang menetap di Lingga, hingga sekarang masih banyak orang Mentok yang tinggal di Lingga dan pulau Singkep. Beberapa dasawarsa kemudian, hubungan baik antara Lingga dengan Bangka tampak dalam upaya perlawanan bersama melawan penjajahan Belanda. Saat itu orang Bangka sedang berperang melawan Belanda dipimpin oleh Depati Amir. Dalam sedikit catatan pada laporan Belanda dikatakan, bahwa pada Tanggal 26 September 1850, didatangkan bantuan pasukan dipimpin Kapten Buys dengan kekuatan Dua kapal perang bertenaga uap yaitu kapal uap Bromo dan kapal uap Cipanas yang dilabuhkan di Teluk Kelabat Bangka. Kapal perang uap tersebut dikirim untuk mempermudah dan mempercepat transportasi dan logistik pasukan militer Belanda ke ibukota keresidenan Bangka di Kota Mentok serta dalam rangka memblokade perairan pulau Bangka agar Depati Amir tidak dapat menerima bantuan logistik dan persenjataan dari luar pulau Bangka, terutama dari saudara-saudaranya yang berada di Lingga. Sebelumnya orang-orang Lingga dengan perahu bercap dari Raja Lingga telah membantu Amir dengan menyerang wilayah pesisir di Teluk Kelabat, di Teluk Jebus, dan di Pantai Timur Laut perairan Sungailiat. Pemerintah Hindia Belanda mengirimkan kapal uap Onrust dan Tjipanas bersama Dua perahu bersenjata untuk mengejar orang-orang Lingga tersebut. 

Para panglima perang Depati Amir pun mendapatkan perlindungan dari saudaranya di Lingga, ketika mereka dikejar dan dikepung di Bangka. Awang dan Bujang Singkip serta Umar berhasil meloloskan diri di daerah Air Mundjang dari kepungan Belanda. Awang kemudian berhasil ditangkap. Dalam surat Administratur Mentok kepada Residen Bangka, Mentok Tanggal 27 Maret 1851 Nomor 86 (ANRI: Bt.22 April 1851 Nomor 21) disebutkan bahwa: ...”Pada Tanggal 25 Maret 1851, telah dibawa kemari pemberontak Awang, setelah ditemukan barisan pasukan Belanda pada Tanggal 23 Maret 1851 yang tampak di ladang Bale Tempok(?) dimana ia sedang makan, oleh petugas polisi Groe, Awang ditangkap, selanjutnya dikirim ke Mentok untuk dipenjara”. Dalam surat dari Residen Batavia kepada Menteri Negara Gubernur Jenderal di Batavia Nomor 1003, tertanggal, Batavia, 15 Maret 1851, diberitahukan perusuh orang Bangka, bernama Awang, “orang nomor satu dari pemberontakan Amir” telah tiba di Batavia. Sementara itu Bujang Singkip dan Umar berhasil meloloskan diri ke Lingga sehingga Residen Riau mendapat surat dari Sekretaris Pemerintah pada Tanggal 24 Februari 185, Nomor 487, yang memerintahkan Residen Riau diizinkan menyeru kepada Sultan Lingga dan Raja Riau untuk menangkap pemberontak Awang dan Bujang Singkep pengikut utama pemberontak Amir dari Bangka yang berhasil melarikan diri ke Lingga. 

Diaspora orang Bangka di Lingga dan orang Lingga di Bangka atau saling kunjung antar keluarga di Lingga dan di Bangka sangat tampak pada berkembangnya dialek Rijau-Lingga dialecten (dialek Riau-Lingga) di Keresidenan Bangka. Dalam Schets-Taalkaart van de Residentie Bangka, K.F. Holle, Tahun 1889, Dialek Rijau-Lingga atau Rijau-Lingga dialecten, penuturnya berada pada onderdistricten Muntok di districten Mentok, onderdistricten Telang di districten Djeboes, onderdistricten Pandji Sekak di districten Belinjoe, onderdistricten Soengailijat di districten Soengailijat, onderdistricten Merawang di districten Merawang, dan di onderdistricten Koba di districten Koba. Berkembangnya dialek Riau Lingga di Bangka menunjukkan besarnya intensitas komunikasi masyarakat Bangka dengan masyarakat Lingga dan menunjukkan bahwa orang Bangka di Lingga berasal dari hampir seluruh distrik yang ada di pulau Bangka. 

Berkembangnya dialek bahasa Riau Lingga (Rijau-Lingga dialecten) di Pulau Bangka menunjukkan besarnya intensitas komunikasi masyarakat Bangka dengan masyarakat Lingga dan menunjukkan, bahwa orang Bangka di Lingga berasal dari hampir seluruh distrik yang ada di pulau Bangka. Lebih jauh lagi dalam Buku “Lima Abad Yang lalu Orang Bangka Sudah di Lingga” (Haji,2018;xvi) dinyatakan, bahwa Orang Bangka pertama ke Lingga pada abad ke 15 (1480-1490) yakni 300 Tahun atau Tiga Abad sebelum Sultan Mahmud Riayat Syah memindahkan pusat kerajaan di Daik Lingga dari Riau. Sultan Mahmud pindah ke Daik Lingga pada abad ke-18 (Tahun 1787-1812), jadi sampai sekarang, orang Bangka di Lingga sudah mencapai lebih 500 Tahun, atau Lima (5) Abad. Orang-orang Bangka adalah orang yang pertama kali diam atau membuat perkampungan di Lingga, bersama dengan keluarga Megat Mata Kuning dari Jambi, dan orang-orang Mantang atau Baroq. Mereka inilah suku asli Lingga, yang pertama.(***/bersambung)

 

Kategori :

Terkait

Senin 22 Dec 2025 - 14:02 WIB

PERAHU SEKAK (GOBANG) BAGIAN LIMA

Senin 15 Dec 2025 - 15:38 WIB

PERAHU SEKAK (GOBANG) (BAGIAN EMPAT)

Senin 08 Dec 2025 - 14:36 WIB

PERAHU SEKAK (GOBANG) BAGIAN TIGA

Senin 01 Dec 2025 - 15:47 WIB

PERAHU SEKAK (GOBANG) (BAGIAN DUA)

Senin 24 Nov 2025 - 14:33 WIB

PERAHU SEKAK (GOBANG)