Maken Ulok

Maken Ulok

Kamis 22 May 2025 - 16:25 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial

    

MAKEN ULOK adalah makanan yang paling enak dinikmati 

di Pulau Bangka dan hanya bisa dinikmati oleh orang asli Bangka. 

--------------    

BEBERAPA waktu silam, saya diminta mengisi materi mengenai kepemudaan Dalam kegiatan yang dihadiri oleh puluhan perwakilan pemuda setiap Kabupetan dan Kota di Bangka Belitung, saya hanya menjelaskan dengan spontanitas hal yang sangat ringan, karena pastinya yang berat-berat otak saya nggak bakalan mampu. Jadi saya hanya berbicara mengenai perilaku “Maken Ulok, Taipau, Ngerapik dan Dek Kawa Nyusah”. Kepada para peserta, saya persilahkan untuk menghindari atau mempertahankan beberapa perilaku tersebut. Karena semua itu masih dalam pandangan saya yang tentunya sangat mungkin untuk dibantah, apalagi bagi yang tersinggung.  

Bahasa tutur masyarakat Bangka Belitung sejak tempoe doeloe itu bukan sekedar bahasa tanpa makna. Apalagi hal tersebut nampaknya sudah menjadi “penyakit” turun temurun yang cukup menonjol dikalangan kita terutama pemuda di Bangka Belitung ini. Fase penyakit pertama adalah “MAKEN ULOK”. Yakni penyakit senang dipuji bahkan mencari pujian tapi sangat marah bahkan dendam jika dikritik. Pada fase ini umumnya karena pengetahuan, pengalaman dan karya nyata masih sangat minim alias “agik mantak”, sehingga setiap apa yang dilakukan untuk sekedar mencari pujian dan mencari jati diri. 

Naik sedikit dari fase “maken ulok” ini adalah “TAIPAU”. Perilaku “taipau” seperti sudah sangat mewabah diberbagai kalangan di negeri ini. Bahkan ada yang begitu kejam mengatakan “lom sah jadi urang Bangka Belitung mun lom taipau”. Sehingga wajar saja kalau kita temui pejabat taipau, polisi taipau, ustadz taipau, dosen taipau, PNS taipau, pengacara taipau, tentara taipau, guru taipau, aktivis taipau, penulis taipau dan lain sebagainya. Dalam ilmu sosial ini bisa disebut sebagai kategori manusia berperilaku “kaget sosial”. Di kalangan pergaulan anak muda, “taipau” ini pun setidaknya terbagi menjadi 3 jenis, yakni: “taipau madun”, “taipau begereng” dan “taipau permanen”. Ada benarnya juga jika Guru Besar Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta, Prof. Djamaluddin Ancok (almarhum), pernah mengatakan: “Sehari dak taipau ase gelugud baden”.

Jika perilaku “taipau” sudah berkarat, maka akan naik pada fase “NGERAPIK”. Karena umumnya orang yang “taipau” lebih mengutamakan banyak gaya tapi cenderung tak banyak membuahkan hasil nyata alias “ngerapik”. Karena yang ada pada dirinya gaya lebih penting dari pada kualitas hasil. Makanya yang terjadi pada kehidupan kita saat ini dalam berbagai lini masih dalam tahap “ngerapik”. 

Secara garis besar kita masih sering menyaksikan berbagai kegiatan-kegiatan “ngerapik” akibat para pelaku kegiatan terutama pemerintah banyak yang “ngerapik”. Berbagai kegiatan lebih cenderung mengejar “wah” dan sekedar menghabiskan kegiatan (daripada nggak ada kegiatan) ketimbang kualitas kegiatan dengan menghambur-hamburkan uang (menghabiskan anggaran akhir tahun). Ulang Tahun daerah, baik Kota, Kabupaten maupun Provinsi lebih dimeriahkan dengan “dangdut” dan goyangnya ketimbang “makna” adanya Provinsi atau menampilkan produk-produk lokal, baik kesenian, budaya, sumber daya alam, sumber daya manusia maupun kerajinannya. 

Akibat dari berbagai hal yang dilakukan masuk dalam tingkatan “ngerapik” muncul pada titik akhir sifat “langok” (bosan) dan pada titik nadirnya melahirkan sifat “DAK KAWA NYUSAH”. Perilaku DKN (Dak Kawa Nyusah) ini kelihatannya memang kelihatannya sangat pribadi atau tak memiliki dampak pada orang lain. Ternyata tidak, justru karena masuk pada fase “Dak Kawa Nyusah” inilah akhirnya memunculkan berbagai tindakan diluar norma. Jika ia tak berpendidikan umumnya ia akan berbuat kriminal dengan tingkatan black collar crime (kejahatan kerah hitam). Perbuatan kriminal dalam tingkatan ini misalnya: nyopet, njambret, malak, mencuri, merampok, dan sebagainya. 

Bagi yang berpendidikan tapi berperilaku “dak kawa nyusah” umumnya gampang masuk pada tingkatan “white collar crime” (kejahatan kerah putih). Perbuatan dalam tingkatan ini umumnya adalah: menipu, korupsi, jual proposal, bikin LSM buat nyari uang, jual informasi, menjadikan orang lain ATM berjalan karena merasa “pegang kartu” yang bersangkutan, jual kepala (nama) orang (apalagi musim pemilu atau pilkada), dan sebagainya.

Perilaku Mantak

DARI 4 fase (Maken Ulok, Taipau, Ngerapik dan Dak Kawa Nyusah) ini, ternyata akibat “agik mantak” (masih mentah)-nya pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual seseorang.  Jika 3 hal ini (pengalaman, pengetahuan dan mental spiritual) “agik mantak” pada diri seseorang tapi ia tak menyadari, maka ia dalam pandangan orang lain akan disebut “mantak igak”. Pada akhirnya ia pun di trademark sebagai orang “mantak malai” dan “mantak tengah” pada tingkatan parahnya adalah “mati mantak”. Begitulah umumnya bahasa tutur kehidupan sosial ditengah-tengah masyarakat kita di Negeri  Serumpun Sebalai ini, terutama masyarakat kampong yang dikenal jujur dan apa adanya. 

Kategori :

Terkait

Kamis 04 Dec 2025 - 17:44 WIB

Dak Nenger di Padah

Kamis 27 Nov 2025 - 15:51 WIB

Guru, HAM dan PGRI

Kamis 20 Nov 2025 - 15:55 WIB

25 Tahun Babel, Negeri Ngeruce

Kamis 13 Nov 2025 - 19:40 WIB

Perilaku Kaget

Kamis 06 Nov 2025 - 18:21 WIB

Belum Berkuku Hendak Menggaruk