Budaya Memilih Pemimpin

Budaya Memilih Pemimpin

Senin 14 Apr 2025 - 16:35 WIB
Reporter : Tim
Editor : Syahril Sahidir

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

KOTA Pangkalpinang dan Kabupaten Bangka rencananya pada tanggal 27 Agustus Tahun 2025 akan melaksanakan kegiatan Pilkada Langsung Ulang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, setelah pada pelaksanaan Pilkada serentak se Indonesia yang dilaksanakan pada Tanggal 27 November 2024 dimenangkan oleh Kolom Kosong atau Kotak kosong.  

---------------

PADA Pilkada langsung serentak Tanggal 27 November 2024, Tiga Daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yaitu Kota Pangkalpinang, Kabupaten Bangka dan Kabupaten Bangka Selatan hanya diikuti oleh Satu Pasangan atau Calon Tunggal. Dalam Konteks Budaya Bangka, aturan utama dalam kegiatan memilih pemimpin berdasarkan kebiasaan budaya (cultural habit) dan aturan budaya (cultural law), bahwa pemimpin dipilih dari “calon yang terbaik dari yang baik-baik (primus interpares)”, makna dari aturan dan kebiasaan budaya tersebut, bahwa harus ada pilihan beberapa calon pemimpin yang baik-baik yang akan menjadi pilihan, karena secara budaya masyarakat harus memilih pemimpin yang terbaik dari yang baik baik. Khusus Pilkada langsung di Kota Pangkalpinang Tanggal 27 November 2024 dengan menghadirkan calon tunggal adalah sesuatu di luar kebiasaan sejarah (historical deviation), sebab sejak pelaksanaan Pilkada langsung di Kota Pangkalpinang untuk pertama kali dilaksanakan pada tanggal 24 Juni Tahun 2008, jumlah pasangan calon selalu lebih dari Tiga Pasangan Calon. Pada pelaksanaan Pilkada langsung pertama di Kota Pangkalpinang tanggal 24 Juni 2008, masyarakat harus memilih pemimpin terbaik dari 5 (Lima) pasangan calon walikota dan wakil walikota, selanjutnya pada Pemilihan Umum Kepala Daerah langsung yang kedua yang dilaksanakan pada Tanggal 28 Mei 2013, masyarakat Pangkalpinang harus memilih pemimpin yang terbaik dari 7 (Tujuh) pasangan calon Walikota dan Wakil Walikota, kemudian pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung Kota Pangkalpinang yang Ketiga tanggal 27 Juni 2018, masyarakat Pangkalpinang harus memilih pemimpin terbaik dari 4 Pasangan Calon yang terdiri dari 1 Pasangan Calon melalui jalur perseorangan atau independen dan 3 Pasangan Calon melalui jalur Partai Politik pengusung. Mudah mudahan pada pelaksanaan Pilkada Ulang Tanggal 27 Agustus 2025 penyimpangan dari kebiasaan sejarah tidak terjadi lagi dan masyarakat sesuai dengan budayanya akan memilih pemimpin yang terbaik dari calon calon pemimpin yang baik, sesuai dengan primus interpares. 

Cara memilih pemimpin dalam konteks budaya Bangka haruslah dengan “berpilih pilih”, artinya harus sangat teliti dalam memilih melalui sikap kehati-hatian. Segala aspek kelebihan dan kekurangan dari calon pemimpin haruslah diperhatikan. Dalam kajian Antropologi Budaya, pemimpin yang terbaik harus memiliki “mana”, atau dalam konteks budaya Melayu Bangka, pemimpin harus memiliki “Tuah”, yaitu daya kodrati positif yang harus dimiliki pemimpin, jangan sebaliknya justru memilih pemimpin yang memiliki daya “Tulah”, yaitu daya kodrati yang negatif. Dalam konteks budaya Bangka minimal pemimpin tu men ngumong lidah e masin, Becakap yang dipintak tekabul, men  melinggang tangan e berisik, Men nyuro cukup sekalik, Men meng-amar sekalik didenger (bujur lalu melintang patah,  perinta yang dak bole dilawan), Men ngelarang sekalik jadilah, men di adep nya menuntun, men di samping nya menintin, men di belakang nya dak numet. Selanjutnya dalam memilih pemimpin dalam konteks budaya Bangka adalah “jangan pileh bulu”, jangan memilih pemimpin hanya memandang kedudukan, bangsa, keturunan, warna kulit, dsb.. Selanjutnya “Jangan pilih kasih” yaitu memilih pemimpin yang ngasih atau memberikan sesuatu. Pilih kasih ini menjadi habit atau kebiasaan buruk dalam sistem politik transaksional saat ini, apalagi yang diberikan adalah janji janji, sehingga pemilih menjadi berat sebelah membuat keputusan dalam memilih. Selanjutnya diingatkan juga dalam memilih pemimpin “Jangan pilih-pilih ruas terpilih buku”, artinya berharap mendapat pemimpin yang baik, tapi akhirnya justru mendapatkan pemimpin yang buruk. 

“Telok Kudok disangkak Selasih, 

Pungkak Gaharu ketak Cendana, 

Cucok dan pacak ikak memilih, 

Kelak kesaruk jadi tegelana”. 

(Untuk lebih jelas dapat dilihat pada table)

Dalam tabel di atas sangat tampak jumlah mata pilih yang memiliki hak untuk memilih akan tetapi tidak memilih atau tidak menggunakan hak pilihnya dengan baik, cukup tinggi, khususnya di pilkada Tahun 2013 sebesar 52,28 persen dan pilkada Tahun 2013sebesar 51,72  persen. Partisipasi pemilih paling tinggi terjadi pada Pilkada Tahun 2003 sebesar 63,62 persen dan Pilkada tahun 2018 sebesar 61,12 persen. Khusus Pilkada Tahun 2024 dengan Calon Pasangan Tunggal partisipasi pemilih sebesar 52,87 persen dan persentase yang tidak menggunakan hak pilihnya cukup tinggi sebesar 47,13 persen. Dalam konteks budaya, memilih pemimpin itu wajib karena ketentuan tentang pemimpin di Bangka diatur dalam hukum adat. Rakyat atau masyarakat jangan apatis dalam memilih pemimpin, gunakan hak memilih dengan cerdas dan bermartabat. Pemimpin adalah orang yang diberikan kepercayaan dan wewenang mengatur dan membina masyarakatnya agar dapat membawa kepada kehidupan masyarakat yang aman, tentram, damai, sejahtera, adil, dan makmur serta masyarakatnya memiliki “tembung laku” yang baik atau berkeadaban (civility), kalau di Kota Pangkalpinang, pemimpin dapat menuntun dan menintin masyarakatnya menjadi masyarakat perkotaan yang berbudaya, tidak tercerabut dari akar sejarah dan budayanya serta tidak terasing dari lingkungan budayanya (cultural alienation). Dalam melaksanakan kekuasaan dan wewenangnya pemimpin juga memiliki aturan yang harus dipatuhi dan tidak dapat berlaku sewenang wenang, sebagaimana  pepatah “Raja adil raja disembah, raja lalim raja disanggah”, dan sebagaimana pantun lama orang Melayu: “Sagu tampin diparut orang, Kalau ditumbuk menjadi laksa, Laku pemimpin diturut orang Kalau buruk negeri binasa”. 

Salah satu ketentuan (pasal) di dalam Hukum adat Sindang Mardika yang berlaku di Pulau Bangka tentang tidak bolehnya pemimpin sewenang wenang dan melanggar ketentuan adat adalah tentang “Pijawang Petjah”. F. S. A. De clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895 halaman 138 menyatakan, bahwa pijawang petjah adalah salah satu pasal dari 45 pasal ketentuan-ketentuan (kewenangan) yang diperlukan oleh kepala kepala rakyat pribumi Bangka dalam pembinaannya (kepada masyarakat) yaitu kepada para Patih, Batin-Pasirah dan Batin-Pengandang atau Batin Ketjil (Vervolgens werden de noodige bepalingen gemaakt voor de Patih's, de Batin-Pasirah en de Batin-Pengandang of Batin Ketjil, te weten). Pengertiannya kira kira: Pijawang adalah "ketua perkumpulan atau pemimpin masyarakat". Pijawang berarti "orang yang dipercaya". “Seorang kepala atau pemimpin yang melanggar ketentuan dan dengan demikian melanggar kepercayaan yang diberikan kepadanya". Pijawang Petjah merupakan ketentuan yang harus dilaksanakan berdasarkan ketentuan pada Pasal Empatpuluh Tiga (Pasal 43) hukum adat Sindang Mardika yang berbunyi: 

Kategori :