“Maksud kakek?” anak muda mengungkapkan rasa penasarannya.
“Baiklah, kakek jelaskan” ujar sang kakek menjawab pertanyaan anak muda
“Anak pertama, sibuk mengurus bisnisnya. Hidup bergelimang harta dan didera kesibukan yang sangat luar biasa. Karena kesibukannya ia lupakan saya sebagai orangtua dan bahkan keluarganya pun jarang diajak bercengkerama. Yang lebih parah lagi, dalam kehidupannya ia lupakan siapa Sang Pencipta dan pemberi kekayaan dalam hidupnya itu. Benar-benar anak dunia…..” jawab sang kakek sambil membayangkan kehidupan anak pertamanya yang sekarang entah dimana.
“Anak kedua, tak kalah sibuk kesana kemari dan jarang di rumah. Jarang berkumpul dengan keluarga apalagi mendatangi saya sebagai orangtua. Agama dan Tuhan hanya dijadikan pemanis bibir saja, tapi tidak ada sama sekali dalam kehidupan sehari-hari. Agama hanya sebagai topeng belaka bukan sebagai kebutuhan hidup sebagaimana seharusnya” jawab sang kakek lagi.
“Kamu tahu kan anak kedua saya itu siapa?” kakek menoleh dan bertanya kepada anak muda.
“Iya, siapa pun tahu anak kedua kakek, orang populer dan memiliki jabatan tinggi, posternya ada dimana-mana” jawab anak muda antusias.
“Ya…, dalam hidupnya adalah kekuasaan dan kekuasaan. Aktif di partai politik dan berbagai organisasi massa demi meraih kekuasaan yang diidamkan. Ia tak tahu apa makna hidup sesungguhnya sehingga ia halalkan segala cara demi meraih apa yang ingin dicapai. Jabatannya tinggi, tapi perilakunya jauh lebih rendah dari rakyat yang ia pimpin. Posternya ada dimana-mana, tapi pada kenyataan perilaku dan perbuatannya tak semanis kata dalam poster yang ia tampilkan. Kakek sedih bercampur malu, Nak….” ujar sang kakek lagi. Air mata pun kembali menetes kala membayangkan wajah dan poster anak keduanya ini.
Anak muda pun terdiam. Cukup lama tak ada kata di antara keduanya, kecuali suara tongkat yang dimainkan sang kakek sambil mata memandang kosong ke depan.