Oleh : AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
DI Pulau Bangka ini, betapa banyak lahan "kosong" yang tidak produktif, hingga cabe, terong & seperadik-seperadiknya, kita beli dari luar.
===
BEBERAPA tahun silam, saya menjadi pembicara dihadapan ratusan masyarakat di sebuah Desa. Kepada masyarakat yang didominasi Ibu-Ibu, saya tanyakan: "Harga cabe naik?" Dijawab "Naiiiik" oleh mereka serentak. "Bawang naik?" Lagi-lagi dijawab serentak "Naiiik". Saya tanya lagi: "Beras naik?" Serentak menjawab: "Naiiik....". Saya masih terus bertanya: "Daging ayam naik?". Lagi-lagi jawabannya kompak serentak: "Naiiiik...". Kembali lagi saya tanya: "Telor ayam juga naik?" Jawabannya pun sama: "naiiik...". Lantas saya lanjutkan: "Bapaknya anak-anak naik?" Tanpa banyak mikir, kompak jawab serentak: "Naiiiik...". Hening sejenak dan mereka tertawa serentak. "Cuma itu yang disukai Ibu-Ibu kalau naik, yakni bapak-bapak. Artinya bapak-bapak masih kuat dan ibu-ibu masih sehat" jawab saya sambil tersenyum dan disambut tawa ngakak ibu-ibu.
====
PASOKAN kebutuhan hidup seperti beras, minyak, telur, ayam, daging, sayur-sayuran dan lain sebagainya untuk masyarakat Bangka Belitung ternyata harus kita drop dari luar. Ketidakmampuan & ketidakmandirian kita dalam memenuhi kebutuhan hidup ini sepertinya tidak perlu kita perpanjang dan harus ada perubahan mendasar (karakter) dari diri kita sebagai orang Bangka Belitung.
Sebab, yang paling mendasar seperti bumbu - bumbu dapur, ternyata kita harus membeli dari luar. Bahkan saya pernah bertanya kepada masyarakat di kampung yang notabene adalah petani. "Apa kunyit, terong, lengkuas, cabe, bawang, harus beli dari Pangkalpinang?" Mereka menjawab "Iya".
Dulu, saya melihat orangtua kala pulang dari Pangkalpinang, yang dijinjing adalah jagung rebus atau jeruk. Sekarang tak jarang kita melihat orang kampung pulang dari Pangkalpinang justru membawa yang namanya kunyit, lengkuas, cabe, apalagi bawang. Terlebih ketika hendak lebaran atau kenduri. Peristiwa seperti ini kita saksikan, betapa miris terjadi, padahal berapa luas lahan yang ada di depan mata kita yakni di kebun. Namun, hari ini, kita menyaksikan kebun-kebun masyarakat hanya berisi tanaman keras saja, seperti sawit. Tidak ada "prang prik" kebun sebagaimana kebun orangtua kita dulu. Prang prik itu adalah bahasa kami masyarakat Mendobarat yang berarti anekaragam tanaman kebutuhan sehari hari di kebun seperti kunyit, cabe, terong, lengkuas, ubi, dan lain sebagainya. "Prang prik" ini adalah ketahanan pangan masyarakat kita tempo doeloe. Lihatlah sejarah bagaimana orangtua kita ketika awal membuka kebun, ubi (singkong) adalah tanaman pertama yang mereka tanam, sebagai upaya ketahanan pangan keluarga.
Pergeseran cara kita berkebun bahkan kurangnya kreativitas kita memanfaatkan lahan, mungkin disebabkan beberapa faktor:
(1) Kurang Kreatif Tidak Produktif. Karakter kita yang sering disebut "dak kawa nyusah" ternyata melekat pada kreativitas dan produktivitas dalam mengelola lahan. Bandingkan dengan masyarakat Pulau Jawa dan Madura dalam memanfaatkan lahan sempit menjadi produktif.
(2) Dimanja Lingkungan/Alam. Keberadaan kita di zona nyaman kerapkali semakin kuat karakter "dak kawa nyusah". Begitu terbiasa kita merasa mudah mendapatkan uang, misalnya cukup nambang timah sebentar, sudah menghasilkan uang, akhirnya membuat kita tidak produktif dalam mengelola lahan dan memanfaatkannya untuk bercocok tamam, budidaya atau ternak.
(3) Lahan Dikuasai Pengusaha. Kita akui, pengusaha-pengusaha di perkotaan menguasai lahan-lahan di pedesaan. Kita tidak bisa menyalahkan pengusaha, sebab tidak akan mereka miliki kalau pemilik (masyarakat) tidak menjual. Banyak lahan-lahan terbengkalai, tak bermanfaat sebab dimiliki oleh orang berduit dan dibiarkan begitu saja. Tentunya kolaborasi menjadi penting sebagai bentuk solusi kedepannya agar lahan-lahan tersebut menghasilkan manfaat baik pemilik maupun pengelolanya.