Pada suatu wilayah yang dianggapnya strategis untuk pertahanan, Panglima Syarah kemudian memerintahkan pasukannya membangun satu “koeboe atau kota” di tepi sungai yang kemudian berkembang dan diberi nama “Koeboebangka” atau “Kotabangka” (sekarang Bangkakota), sedangkan sungainya kemudian diberi nama dengan sungai Bangkakota. Pateh Singa Pandjang Djongor terus dikejar dan kemudian meninggal di kampung Djeridji, makamnya dikenal masyarakat dengan sebutan keramat Pandjang Jongor atau keramat Dentelor. Lima orang anak dayang dari Pateh Singa Pandjang Djongor kemudian oleh Hulubalang Alam Harimau Garang dinikahkan dengan para pateh dan proatin (wakil pateh) di pulau Bangka
Panglima Syarah dan Hulubalang Harimau Garang setelah berhasil mengamankan pulau Bangka dan perairannya kemudian menetap di pulau Bangka. Panglima Syarah beserta sebagian pasukannya yang tidak kembali ke kesultanan Johor, menetap di Bangkakota dan Hulubalang Alam Harimau Garang beserta pasukannya menetap di Kotaberingin.
Dua tokoh ini menjadi rajamuda kesultanannya di Bangka dan mereka mengatur adat istiadat serta menyebarkan agama Islam di pulau Bangka. Pada masa ini terwujudlah keteraturan dalam kehidupan masyarakat di pulau Bangka. Kehidupan perladangan dan kerajinan seperti tikar dan hasil hutan seperti kulit, kapur, opih pinang, madu dan lilin, gaharu dan damar menjadi komoditas yang dihasilkan dari pulau Bangka.***