Wajah kakak meringis, sekilas mirip wajah poster calon petahana di kaca balkon itu. Tampaknya kali ini poster meringis petahana yang kalah seperti berbalik tersenyum dan menertawakan kaki kakak yang kaku karena terkilir. Calon petahana itu seakan berkata, “Jikalau kamu menang jangan jemawa. Jika aku kalah, janganlah kau tertawa. Dan jika kamu terkilir, pergilah ke tukang urut!”
Kakek menghampiri kakak sembari terkekeh-kekeh memegangi perutnya. Kakek tak tahan, terpingkal, lalu duduk di kursi sembari terus tertawa melihat cucunya yang pelontos harus menerima karma karena sedari kemarin menghina jagoannya yang kalah.
“Jadilah seperti padi di depan sana itu, semakin tinggi dia akan merunduk. Ketika kalah jangan patah, saat menang janganlah jemawa. Tidak ada bibit padi terbaik yang patah. Itulah padi . . .”
Tukang urut mengakhiri epos kekalahan kakak karena kualat menghina kakek. Bagaimanapun, kakek adalah kendali nasihat di rumah. Apapun kesalahan beliau, kiranya tak boleh kita menertawakan atau menuding bahwa itu adalah sebuah kesalahan. Nasihat kakek tetaplah petuah emas dalam kehidupan.
Wajar, karena saat ini kakak sudah taubat. Berteriak-teriak kesakitan terkena pijit kakinya yang cedera. Suasana perayaan kemenangan pilkada di hati kakak sekarang sudah berpindah ke tangan tukang urut. Tangan tukang urut itu bahkan sudah bisa menentukan pendapat kakak tentang pemerintahan kota setahun ke depan, yaitu jika tak hati-hati pasti akan terkilir. *