“Kamu harus tahu, petani sudah jadi penyangga kehidupan negara kita berpuluh-puluh tahun.”
“Entahlah, Kek. Saya mau kerja di mana. Lamaran dengan gaji layak semakin sulit, tapi kalau kerja ojol, jaga warung, atau depot minum masih mudah.”
“Ya kamu minta kerja ke. . . . .”
Kakek ingin berkata, “Mintalah ke kotak kosong sana!” tapi beliau khawatir, kalimat sarkas itu akan menyebabkan perdebatan-perdebatan panjang dengan kakak. Kata orang, pilihan saat pilkada sangat mirip dengan jatuh cinta yang buta. Banyak kawan jadi lawan gara-gara pilihan politik.
Lalu kakak berkata, “Nah, yang kakek bilang itu bukti pemerintah kurang peduli dengan teknologi pengolahan hasil pangan. Sekarang orang-orang kecil di pasar atau tukang-tukang ojek ingin pemimpin yang berpikikir punya ide seperti yang kakek utarakan tadi. Mereka ingin negara ini berubah!”
Kakek kembali terdiam. Dia masih dongkol karena manusia zaman sekarang sudah kalah dengan sesuatu yang tidak ada. Beliau memandang koran nasional, lalu pura-pura membaca tragedi berdarah di palestina, padahal wajah kakek memerah karena tersinggung omongan kakak yang masih membahas kekalahan calon petahana.
Gestur yang ditampakkan seperti tokoh silat yang kalah saat bertanding. Sesekali beliau menghembuskan napas sembari membolak-balikkan koran yang ia baca. Tampaknya koran itu hanya jadi penutup malu saja, sedang kakak sedari tadi selalu mematahkan nasihat kakek dan menghubungkan dengan kekalahan petahana yang kakek dukung. Apalagi tangan kakak yang sembari mengelus-elus kepala pelontosnya itu membuat kakek semakin sewot.
Tampaknya kakek harus menyelami nasihat-nasihat yang pernah beliau sampaikan pada kami. Matanya menerawang jauh menuju persawahan depan rumah kami. Kata kakek jadilah seperti sawah yang meski tumbuh di bawah panas dan hujan, ia mampu mencukupi hidup orang banyak. Jika dicerna, nasihat kakek memang benar, sawah yang terbentang di depan rumah kami memang tahan banting.