Seperti saat ini, kala gerimis mulai rintik turun hingga semakin deras, sawah di depan sana memang tak protes. Lalu kakek mengangkat beberapa jemuran dari balkon rumah kami. Sementara kakak menghirup kopi sembari memandangi gawai android, siapa tahu ada notifikasi pemberitahuan pesanan datang dari pelanggan. Kakak yakin, hujan atau petir tak mengubah suasana hati yang senang karena di dadanya ada ribuan orang merayakan kemenangan.
Suasana hati yang merayakan kemenangan pilkada tampaknya juga membuat dia lupa sering ditolak bank-bank besar di kotanya. Kakak juga lupa kalau dia juga seorang sarjana yang masih menganggur, menjalani pekerjaan alakadarnya sebagai ojol.
Masih saja dia melirik-lirik ke arah kakek yang jagoannya kalah. Paling tidak selama setahun ke depan, di rumah tidak ada yang memarahi karena kakak pengangguran. Tinggal bilang, “Ini semua salah pejabat, presiden, menteri pendidikan yang diganti, atau petahana yang kalah! ”
Tampaknya air yang terbawa angin semilir membuat gerimis dari balkon lantai dua rumah kami itu sedikit basah oleh air dan agak licin. Sementara di depan sana, kabut mulai turun membasahi persawahan hijau yang luas itu. Bagi kakek latar suasana di rumah kami menambah kesedihan, tapi bagi kakak suasana hujan gerimis di rumah kami membuat perayaan pilkada di hatinya semakin meriah.
Dari kejauhan tampak paman para penanam padi sembari membawa terindak (caping) melangkah di pematang sawah berlari-lari di tengah hujan lebat. Mereka tak peduli dengan risiko petir yang mungkin menyambar. Bagi kakak pastinya pemandangan itu ada nuansa kritik karena itulah bukti kegagalan petahana, tapi untuk kakek itu bukti bahwa petani kita adalah orang Indonesia punya mental yang kuat.
Hati gembira di hati kakak terpancar jelas karena kemenangan kotak kosong yang didukungnya. Menurut kakak, itu membungkam nasihat-nasihat kakek yang tiap hari turun seperti halnya hujan kali ini. Sudah lama kakak ingin membungkam nasihat kakek dengan hasil pilkada. Ia membayangkan bisa berselebrasi khas seperti pemain bola asal Portugal idolanya. Tapi tampaknya tak ada salahnya ia mencoba selebrasi ikonik di dunia sepakbola itu.
Akhirnya selagi kakek melangkah ke dalam rumah, kakak berlari kencang mengitari balkon lantai dua rumah kami. Di akhir larinya, ia melompat dan berteriak “Siuuuu!” sembari meregangkan tangan dan terdengar suara “Buuukkk ... jeduukk!!”
Kakak lupa bahwa lantai balkon saat itu licin dan akhirnya kakak terpelanting karena terpeleset. Saya langsung naik ke lantai dua dengan bergegas. Di sana kakak memegangi pergelangan kakinya yang terkilir, sedangkan jidatnya sedikit berwarna ungu karena terbentur tembok balkon. Di lantai marmer balkon yang berwarna hitam sangat jelas terlihat bekas jejak kaki memanjang satu setengah meter.