maka dari itu, untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan, mereka melakukan carok yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan sosial.
Meski begitu, aparat polisi, jaksa, dan hakim menganggap bahwa carok termasuk dalam kategori perbuatan kriminal dan pelakunya dapat diberi hukuman sesuai ketentuan yang berlaku.
Asal-Usul Tradisi Carok
Carok dalam Bahasa Kawi kuno memiliki arti perkelahian yang melibatkan dua orang atau dua keluarga besar, bahkan antar penduduk sebuah desa di Bangkalan, Sampang, Pamekasan.
Carok merupakan simbol kesatria dalam memperjuangkan harga diri.
Dilansir situs Kemdikbud, sebagai senjata perlawanan, pelaku carot menggunakan celurit.
Celurit bukan hanya sekadar senjata tradisional khas dari Madura, melainkan tak dapat dipisahkan dari budaya dan tradisi masyarakat Madura.
Senjata ini dianggap sebagai simbol kejantanan laki-laki.
Carok dan celurit bagaikan dua sisi mata uang tak bisa dipisahkan lantaran muncul di kalangan orang-orang Madura sejak zaman penjajahan Belanda abad 18 M.
Senjata celurit mulai muncul pada zaman legenda Sakerah, mendor tebu dari Pasuruan. Dia melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda menggunakan celurit yang biasanya hanya digunakan sebagai alat pertanian.
Ketika lelaki asal Bangkalan itu dihukum mati, warga Pasuruan yang mayoritas berasal dari suku Madura marah dan mulai berani melakukan perlawanan pada penjajah dengan senjata andalan berupa celurit.
Sehingga, celurit mulai beralih fungsi menjadi simbol perlawanan, simbol harga diri, serta strata sosial. Oleh karena itu, celurit dipakai sebagai senjata dalam Carok.
Kronologi Carok
Kapolda Jatim Irjen Pol Imam Sugianto menjelaskan peristiwa bermula saat Paslon Bupati nomor 2 H. Slamet Junaidi silaturahmi ke kyai di Sampang, khususnya di Kecamatan Ketapang.
Saat Slamet Junaidi keluar dari kediaman kyai Mualif, tiba-tiba rombongan paslon nomor urut 2 dihadang oleh beberapa orang yang tidak dikenal.
Satu terduga pelaku pun telah tertangkap. Imam pun mengatakan pihaknya sedang menganalisa kasus tersebut.