DINDING rumah itu bercerita. Tampak jelas di foto yang tergantung itu, senyuman bahagia orang-orang sembari menimang bayi. Hanya cat dinding saja yang berganti, namun tidak dengan yang tergantung di sana. Apalagi jika dibandingkan sudut ruangan lain, waktu demi waktu kebahagiaan kala itu sangat jelas tergurat.
Akhirnya setelah lima anak perempuan, bocah lelaki satu-satunya hadir di rumah kami. Rudi adik kami lelaki semata wayang lahir saat almarhum ibu menjelang usia lima puluh. Bukan perkara mudah, menjaga kesabaran agar tampak menghijau selain dengan ketabahan menyiangi tiap hari. Kesabaran sebentuk ayah yang tersenyum tiap menggendong anak perempuannya saat lahir. Padahal yang dinanti bukanlah bunga, tetapi kumbang.
Anomali dengan rokok dan tato di sekujur tubuh, ayah sangat menganggap kehadiran anaknya kapanpun sangat berarti. Ayah rajin membersihkan foto-foto di dinding rumah itu. Tak hanya menjaga agar kami tumbuh, barangkali beliau juga sadar, detik waktu yang dilalui adalah sesuatu yang berharga. Potret yang tergantung rapi dengan jelas terlihat Rudi menjadi buah hati keluarga. Bila harus memilih batu permata sebesar gunung atau seorang anak lelaki, maka kami akan lebih memilih anak lelaki.
BACA JUGA:CERPEN RUSMIN SOPIAN: Lelaki Bernyawa dalam Keranda Mayat
Foto Rudi sedari umur satu, tujuh, dan kini empat belas tak sebanyak kami para kakak perempuannya. Mitos mengatakan, manusia akan mengalami masa perubahan tiap tujuh tahun sekali. Saat usianya setahun, ia memainkan dot atau payudara ibu. Di usia ketujuh, ia akan mengenal tanggung jawab, identitas, harga diri, dan rasa ingin tahu.
Tibalah di hari ulang tahun ke empat belas, Rudi pulang membawa surat panggilan dari guru bimbingan konseling. Wajahnya cuek, tak terlihat ada masalah berarti. Biasa Anak seusianya pasti sudah menutup mata sembari menangis ketika orang tua dipanggil guru ke sekolah.
Ternyata Rudi, adik lelaki semata wayang kami itu kembali berkelahi. “Ayah akan hadir besok, bila perlu saya akan ajak gurumu bimbingan konseling itu ke sini.”
Jawaban tidak enteng dari seorang ayah di rumah kami. Dia kembali menyamakan surat panggilan pada Rudi seperti halnya tragedi di Gaza. Jika ada anak yang terkubur di reruntuhan bangunan karena rudal buatan barat, itulah kiranya pandangan ayah tentang situasi anak lelakinya yang masih SMP itu.
BACA JUGA:CERPEN MARHAEN WIJAYANTO: Rafli Belum Merdeka
Di usia empat belas, rupanya rasa sayang ayah kepada anak lelaki satu-satunya di keluarga kami bukan lagi menggendong dan menimang. Bukan lagi membeli mainan setumpuk untuk anak, tetapi buah dan hadiah dari pergaulan. Rudi sedang mencari jatidiri sebagai lelaki. Maka dia akan akrab dengan berkelahi, rokok, atau motor balap.
“Janganlah kau emosi, John. Ingat, buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Kalau Rudi merokok, pasti dia meniru kamu,” ujar kakek dengan tenang, “Kamu masih ingat, dari SMP kelas satu sampai dengan lulus SMA, catatan pelanggaranmu di sekolah juga tak kalah penuh. Kepala sekolahmu saat itu sampai bosan mengirim surat panggilan karena ulahmu.”
“Tapi dalam marga kita, ulah anak di sekolah membuat malu haruslah ditampar. Ini sudah budaya.”
“Betul, tamparlah kalau itu kamu mau. Toh, Rudi juga anak kandungmu. Tapi ingat, anak kecil tak bisa melakukan sesuatu bila tidak ada yang mencontohkan. Apalagi zaman sekarang, dia mungkin tak bisa menciptakan sesuatu, tapi kalau meniru-niru itu hal yang paling mudah. Jadi nanti sampai anak cucumu, tiap kesalahan yang bikin malu akan selalu berakhir dengan jalan kekerasan.”