Tok Arun
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Memang begitulah kehidupan sosial kita, barangsiapa yang hidup berbeda dengan orang lain, maka ia dipastikan disebut gila alias tidak waras. Jika suatu zaman nanti semua manusia gila, lalu Anda sendirian yang waras, maka dipastikan justru Anda-lah yang bakalan disebut sebagai orang gila atau tidak waras, karena Anda berbeda dengan yang lain (tidak normal). Oleh karenanya gila dan tidak gila atau waras dan tidak waras itu perbedaannya sangat tipis sekali bahkan hampir tak ada bedanya bahkan hanya soal sebutan dan anggapan umum saja.
Tok Arun, saya memang tidak banyak tahu secara mendetail dengan sosok ini karena hidup di zaman dan tempat yang berbeda. Namun karena kebiasaan saya yang selalu ingin tahu tentang kehidupan masa lalu, seringkali saya diskusi dan rela mendengar para orangtua bercerita membuat saya menjadi sedikit tahu. Dulu, dari para orangtua di Pangkalpinang seperti Husaini Sani, Emron Pangkapi, Zulkarnain Karim, Hudarni Rani, Prof. Saparuddin, Johan Murod, Wirtsa Firdaus, Zachria Subagyo, Aldjurjoni, Agustu Afendi dan lain-lain, saya mendapatkan sedikit cerita masa lalu Tok Arun yang menginspirasi saya untuk menuangkannya ke dalam kolom TARING (Catatan Ringan) ini.
Konon, Tok Arun adalah sosok yang pintar dan cerdas namun “bergaya” stres alias gila. Seringkali Tok Arun dijadikan bahan olokan anak-anak kecil karena dianggap “gila” dan selalu ia “ulon” (layani) ulah anak-anak tersebut demi “kebahagiaan” anak-anak kecil. Tok Arun adalah penjaga tidak resmi Masjid Al-Badar kampung Melintang (samping makam Kerkhof) dan selalu tidur di Masjid tersebut. kemana pun pergi ia selalu membawa parang yang ia sisipkan diatas “peranca” sepedanya beserta gula kabong (aren) dan kadangkala madu sebagai dagangannya. Kulitnya yang hitam, wajahnya yang kelihatan sangar dan garang, tatapan matanya yang tajam membuat orang “terpaksa” membeli dagangannya. Setiap orang yang ia hampiri untuk membeli gule kabong pasti ketakutan melihat parang yang ia acungkan akhirnya terpaksa membeli karena takut “tertetak” parang yang ia pegang.
Konon juga suatu saat ada yang kena sabetan parangnya Tok Arun, sehingga ia pun disidangkan di Pengadilan. Di tengah pengadilan, sang Hakim menanyakan: “Mengapa kamu menetak orang?” lalu Tok Arun dengan santai menjawab pertanyaan Hakim: “Saya tidak MENETAK Pak Hakim, tapi TERTETAK. Beda antara MENETAK dan TERTETAK”. Dari jawaban Tok Arun ini saya melihat sisi cerdas yang luar biasa, karena kalimat awalan “TER” dan “ME” itu benar-benar memiliki makna yang berbeda bagi yang paham sastra dan bahasa. Oleh karenanya saya kerapkali tersenyum ketika membaca visi misi banyak calon pejabat dengan kalimat “TERWUJUDNYA” yang seharusnya “MEWUJUDKAN” dan puluhan kalimat-kalimat “keliru” lainnya di sepanjang jalan dan baliho para calon.
Home base (tempat tinggal) Tok Arun adalah Masjid Al-Badar. Di Masjid itulah ia tidur, mandi dan beristirahat guna melepas lelah dari aktivitas sehari-harinya. Rumahnya adalah Masjid tempat ia bersujud minimal 5 kali sehari tuk mensyukuri kehidupan yang ia jalani. Ia membersihkan Masjid, tempat wudhu dan kerapkali menyikat WC Masjid. Semua itu ia lakukan tanpa ada yang menyuruh, memberikan gaji atau sekedar untuk mendapat pujian.
Dimasa hidupnya Tok Arun tidak pernah takut (segan) dengan siapa pun, ia tidak akan mau menghormati orang membabi buta, tidak sok beretika, menghormati yang sekedar kaya harta, punya jabatan tinggi, penampilan necis, tapi Tok Arun hanya segan (hormat) kepada para alim ulama atau mualim (guru/orang yang memiliki ilmu agama yang tinggi), seperti: Haji Idris Sani, mualim Sidi, mualim Zainal, maulim haji Ali Ridho Anies (Ali Arbaya), mualim Abdullah Addari, muallim Hormain Maddati, mualim Abdurrazak, mualim Kisai Saleh dan beberapa mualim (guru) lainnya di Kota Pangkalpinang, termasuk penghulu Kota Pangkalpinang, mualim Asir (Ayah Emron Pangkapi).
Walaupun dianggap gila oleh sebagian masyarakat, namun nyatanya Tok Arun kerapkali berdiskusi dengan para mualim, becelekeh (berdebat) mengenai perkara hukum agama. Konon salah satu tempat ia “becelekeh” dan “berukum” (berdebat persoalan agama) adalah di kawasan Pasar Catot dan tempat gunting rambut Atok Iman di Kampong Tengah Pangkalpinang. Kelompok diskusi alias becelekeh dalam berbagai hukum agama itu antara lain: Atok Malik, mualim Saimi, mualim Sidi, mualim Zainal dan lain-lain. Selain itu Tok Arun kerapkali datang ke kediaman mualim Asir guna membawa “perkara” untuk dicelekehkan (diperdebatkan).
****
BANYAK orang mengatakan Tok Arun gila atau stres, tapi jangan-jangan justru dia lebih normal dari kita masyarakat umum dan justru kita yang merasa waras-lah yang gila. Karena nyata kian hari kian banyak manusia yang merasa normal padahal gila (gila hormat, gila harta, gila jabatan, gila popularitas, gila pangkat hingga gila beneran alias ngiret kaleng). Sedangkan dalam kacamata saya, Tok Arun justru menghindari diri dari hal tersebut dengan bersikap seperti orang gila sehingga ia merasa tidak penting untuk diberikan kehormatan duniawi, jabatan, harta, popularitas semu, pangkat dan segala tetek bengek yang fana.
Menelusuri kehidupan unik Tok Arun secara sosial, saya teringat dengan hikayat Abu Nawas (Abu Nuwas). Sosok orang cerdas dimasanya namun bersikap nyeleneh dan juga dianggap gila. Abu Nuwas adalah anak dari seorang Qadhi (Hakim) Kerajaan dimasa kepemimpinan Harun Ar-Rasyid. Ketika ayahnya meninggal dunia dan Abu Nawas dipastikan akan diangkat menjadi Qadhi Kerajaan menggantikan posisi sang ayah. Raja Harun Ar-Rasyid dan para penasehat kerajaan meminta Abu Nawas untuk mendapatkan jabatan tinggi tersebut karena ilmu dan nasab-nya.
Abu Nawas mengetahui hal tersebut dan ia pun mencari akal agar tidak diangkat dalam sebuah jabatan yang diperbutkan oleh banyak orang. Padahal dengan jabatan Qadhi, Abu Nawas sudah dipastikan bakal mendapat fasilitas yang sangat nyaman serta gaji yang tinggi. Lalu untuk menghindari jabatan tinggi tersebut, Abu Nawas melakukan tindakan diluar dugaan semua orang, yakni bersikap nyeleneh dan gila dalam kesehariannya. Ia tertawa sendiri kesana kemari, menjadikan kayu sebagai kuda-kudaan dan teriak seperti orang kesetanan. Akhirnya tersebarlah berita bahwa Abu Nawas stress dan tertekan bathinnya karena kematian sang ayah yang sangat ia cintai. Akhirnya Raja Harun Ar-Rasyid memutuskan bahwa Abu Nawas tidak layak diangkat menjadi Qadhi karena gila. Raja Harun Ar-Rasyid pun memutuskan untuk mengangkat dan melantik orang lain menjadi Qadhi pengganti ayahnya Abu Nawas.
Setelah mendengar Qadhi baru sudah dilantik, Abu Nawas pun kembali bersikap normal dan merasa sukses menghindari jabatan, mengindari fasilitas kerajaan dan gaji yang tinggi yang bisa membuat hidupnya hubbud dunya (mencintai dunia) wa karahiatul maut (dan takut akan kematian). Perilaku ini jauh berbeda dengan kita di era “orang pintar” sekarang ini. Demi jabatan, popularitas, fasilitas, demi disebut orang terhormat, pejabat tinggi, orang besar, kita berani mengorbankan harga diri, idealiasme bahkan agama sekalipun. Kalau Abu Nawas bersikap gila agar tidak mendapatkan jabatan, justru kita menjadi gila dan stress karena tidak dapat jabatan yang diimpi-impikan.
Tok Arun dan Abu Nawas hidup di zaman yang jauh berbeda, namun banyak teladan yang kita dapatkan dari kehidupan orangtua masa silam. Mereka tidak butuh pencitraan, memaksakan diri dalam menjalani kehidupan hanya sekedar mendapat kehormatan, tapi justru berpura-pura gila demi menghindari hal semu tersebut. Bersikap gila agar jauh dari penghormatan semu. Tok Arun asli Bangka dan Abu Nawas dari Timur Tengah itu tidak sok pintar sehingga dipuji-puji, tidak sok beretika (pencitraan) sehingga dihormati, karena mereka tidak butuh penghormatan duniawi, bisa jadi ini adalah bentuk tasawuf tingkat tinggi.
Tok Arun, adalah sosok yang istiqomah, “dak suwah” (tidak pernah) mengganggu orang tapi jangan sampai diganggu, maka ia akan beraksi dan bertindak keras menyerang. Kemana pun ia pergi selalu membawa parang sebenarnya adalah untuk pengamanan dirinya dari “asuk” (anjing) China yang berkeliaran di sepanjang pasar. Karena pada masa itu, anjing-anjing liar seringkali menyerang orang dan berkeliaran di seputaran Kota Pangkalpinang.
Abu Nawas dan Atok Arun adalah sosok yang taat beragama, menjalani kehidupan agama bukan dari penampilan dan gaya, tapi kesungguhannya dalam beribadah. Atok Arun hidup sangat terhormat walau disebut sebagian orang adalah gila. Ia menghidupi dirinya dari hasil keringat sendiri (jualan gule kabong, madu dan juga parang), bukan meminta-minta, tidak menjadikan dirinya seorang pengemis, apalagi sekedar menjadi penjilat demi mendapatkan lembaran uang atau proyek dari sang penguasa atau pengusaha.