Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Gile Tacok

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Tidak hanya kawan dari sahabat saya tadi yang berperilaku “gile tacok” tapi bisa juga sarjanawan-sarjanawan yang baru pulang merantau dan ingin segera dapat andil dalam kancah pergulatan politik di daerah kelahiran. Ibarat kata, belum mengenal medan perang, tapi sudah langsung terjun bebas tanpa membaca situasi dan kondisi dengan berperilaku merasa lebih pintar dan lebih tahu dengan menganggap orang-orang disekitarnya tidak banyak pengalaman. 

Perilaku “gile tacok” adalah orang yang berprilaku bak seorang pejabat besar namun sesungguhnya dia baru setengah pejabat atau bahkan rakyat jelata. Penampilannya yang “wah” dengan atribut kebesaran yang digunakan. Jika ada kegiatan selalu ingin duduk terdepan dan merasa diri orang penting. 

Perilaku “gile tacok” adalah orang yang memasang-masang fhoto diri sepanjang jalan bak selebritis dengan mengagung-agungkan diri bahkan keturunannya hanya untuk meraih jabatan ‘wakil rakyat’ sebagai pekerjaan untuk meraih mata pencaharian, namun berkoar-koar sebagai pengabdian. 

Perilaku “gile tacok” adalah orang yang merasa dirinya yang paling pantas dalam sebuah posisi. Ketika posisi itu ditempati oleh orang lain, dia justru sakit hati, dendam, dan mencari kesalahan orang lain dengan mencari dukungan atau pembenaran diri bahwa ia yang lebih pantas. Jika posisi tersebut ia dapatkan, sikapnya dibuat-buat dan berlebihan sehingga membuat orang-orang disekitarnya muak ingin mengeluarkan segala isi perut (muntah).

Perilaku “gile tacok” adalah orang-orang yang berada di lingkungan pejabat atau keluarga pejabat lantas bersikap melebihi sang pejabat itu sendiri, seakan-akan hanya ia yang dekat dan mampu mengatur sang pejabat tersebut, lantas berkoar-koar kemana-mana. 

Perilaku “gile tacok” adalah orang-orang yang bangga memamerkan kendaraan yang ia pakai, aksesoris yang ia gunakan, tak peduli itu kendaraan pinjaman atau rental dan aksesoris sesaat. 

Perilaku “gile tacok” itu adalah orang yang mengungkit-ungkit jasanya, berkoar-koar di media dengan menyebut-nyebut jerih payahnya, perjuangannya dan lantas ia meminta orang-orang untuk memberikan penghargaan atas jasa yang ia lakukan, minimal dengan tidak melupakan dirinya sambil tersedu-sedu menangis mengurai air mata agar dikasihani.

Perilaku-perilaku “gile tacok” alias tayoh alias gila hormat dan gila pujian itu sangat banyak disekitar kita, bahkan dalam diri kita sendiri. Karena persoalan gila ini memang ada dalam setiap diri manusia-manusia modern sekarang, siapa pun dia. Baik itu perilakunya secara terang-terangan maupun tersembunyi. Jadi mulai sekarang kalau Anda bertemu dengan orang “gila” nggak usah ringem, nggak usah sewot apalagi sampai menghujat atau terlalu menjauhkan diri sedangkan ia ingin bersahabat dengan Anda. Ingatlah bahwa dalam diri kita juga ada sifat “gila” yang kadangkala orang lain lebih tahu.  

Soalnya, kata orang-orang tua di kampung, dalam diri setiap manusia itu ada sifat kegilaan. Entah benar atau tidak, sampai-sampai jumlahnya ada 44 macam, di antaranya: gila harta, gila wanita, gila jabatan, gila popularitas, gila kerja, gila ngeritik, gila facebook/BBM/Twitter, gila hormat alias gila tacok, dan seterusnya sampai pada gila benaran. Nah yang terakhir itu biar saya sajalah yang ngaku.

Salam gile! (*)

    

    

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan