Hidup Sukses Apa Hidup Bernilai?
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial
MOMENT Pemilu & Pilkada adalah moment dimana kita melihat apakah para calon yang tidak terpilih masih ikhlas dan benar-benar istiqomah untuk terus memberikan nilai bagi masyarakat walau dirinya tidak menduduki posisi yang dikompetisikan.
---------------
DALAM banyak kesempatan, kerapkali kita memperbincangkan tentang “kesuksesan” bahkan menganggap kesuksesan dengan memfokuskan pada jabatan, harta atau kemewahan dan popularitas. Sehingga orang yang tidak menduduki jabatan atau hanya jabatan rendah, pekerjaan yang dianggap kelas bawah, kurang menampakkan kemewahan serta tidak populer di media maupun di lingkungan atas, maka seringkali kita anggap tidak sukses atau gagal.
Padahal ada hal yang lebih penting dari sebutan “sukses” tersebut, yakni hidup “bernilai”. Dalam pemahaman saya, antara “sukses” dan “bernilai” ini ada perbedaan yang cukup kentara. Banyak orang yang terfokus dalam hidupnya sekedar mencapai kesuksesan, tapi sangat sedikit yang berpikiran untuk meraih nilai dalam hidup. Orang yang sukses belum tentu bernilai, sedangkan orang yang bernilai sudah pasti sukses walau tidak bergelimang harta, tak populer di media dan tidak pernah menduduki jabatan apapun.
Kita bisa menyebut diri kita sukses yakni ketika kita mampu meraih atau melampaui apa yang kita cita-citakan sebagaimana kita juga bisa menyebut diri kita gagal ketika tak meraih apa yang diimpikan. Tapi apakah kita bernilai atau tidak, hanya orang lain yang bisa menyebutkannya (memberi nilai), terutama setelah ketiadaan kita. Berapa banyak orang-orang yang selama ini tidak begitu kita kenal karena bukan orang penting dan tidak bergelimang kemewahan selama hidupnya, namun ketika meninggal dunia dan telah lama tiada, nama dan kebaikannya terus disebut oleh masyarakat dan menjadi inspirasi generasi selanjutnya. Inilah yang menurut saya “nilai” lebih tinggi tingkatannya dari sebutan “sukses” era modern.
Akibat kekeliruan memandang makna hidup, kerapkali kita menganggap bahwa apa yang kita raih dan apa yang kita perebutkan selama ini adalah nilai. Sehingga ada orang yang merasa bernilai ketika ia menduduki jabatan yang diimpikan. Ada orang yang merasa bernilai ketika sering tampil di media, ada orang yang merasa bernilai ketika mukanya dicetak dalam spanduk dan baliho sepanjang jalan, ada orang yang merasa bernilai ketika ia dapat kesempatan berkoar-koar dengan mikropon diatas panggung dan sebagainya.
Tapi di sisi lain, ada orang yang tak perlu jabatan, tak butuh popularitas, tak pernah nampang muka di media, tak butuh panggung untuk berkoar-koar, tak butuh baliho menampang mukanya, tapi ia memiliki nilai sepanjang hidupnya. Bermanfaat bagi lingkungan dimana ia berada, orang-orang yang mengenalnya tak kan pernah lupa akan jasa yang ia perbuat, bahkan ketika ia tiada, namanya selalu disebut-sebut dan keluarganya pun turut merasakan nilai-nilai keagungan akhlak yang diperbuatnya.
Intinya, nilai kehidupan seseorang bukan seberapa tinggi jabatan yang diduduki, kemewahan dan pengawalan yang wah, seringnya tampil di media, rajin berkoar-koar diatas panggung, tapi seberapa bermanfaat kehidupannya bagi orang lain tanpa ia harus mengejar hal-hal semu duniawi yang sekedar tampak basah di permukaan, namun kering kerontang di kedalaman jiwa. Oleh karenanya, penting bagi kita untuk tidak salah dalam memberi nilai pada orang lain apalagi pada diri sendiri.
Jadi, orang “sukses” yang sering kita sebutkan belum tentu masuk dalam tingkatan orang yang “bernilai”. Karena bisa jadi orang yang sukses baik dalam jabatan, harta dan popularitas belum tentu memberikan nilai atau manfaat besar bagi kehidupan orang banyak, lingkungan bahkan keluarganya sendiri. Sehingga kadang kita pernah mendengar ucapan: “Dia sih sukses, tapi tak bernilai apa-apa bagi masyarakat, bahkan keluarganya sendiri”.
Nah, kejarlah kesuksesan, kumpulkan harta sebanyaknya, raihlah jabatan setinggi yang diimpikan dan silahkan terkenal dan mempopulerkan diri, karena itu bukanlah dosa selagi didapatkan dengan cara yang baik dan benar dalam hukum agama dan aturan yang ada. Tapi setelah semua itu didapatkan, ia bukanlah titik akhir, namun ada tingkatan lagi yang harus diraih, yakni bagaimana mengolah harta, amanah jabatan dan memanfaatkaan popularitas tersebut untuk dapat bernilai (bermanfaat) bagi banyak orang.
Moment Pilkada serentak yang tinggal menghitung hari, adalah moment dimana nanti kita melihat apakah para calon yang tampil saat ini ketika tak terpilih masih ikhlas dan benar-benar istiqomah untuk terus memberikan nilai bagi masyarakat walau dirinya tidak menduduki posisi yang dikompetisikan saat ini. Kita berharap dan berdo’a mereka adalah orang yang bernilai (berarti) bagi lingkungan, keluarga dan bangsa ini, karena kesuksesan sudah mereka raih, tinggal bagaimana mewujudkan tingkatan “bernilai” sebagai manusia dan anak bangsa walau tidak menjadi Kepala Daerah atau Wakil Kepala Daerah. Alangkah indahnya jika semua calon yang tidak terpilih tetap berkiprah memajukan daerahnya guna membantu calon yang terpilih dalam membangun daerah.
Disinilah makna khairunnaas anfauhum linnaas (sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat/bernilai bagi orang lain) seperti yang petuahkan Rasulullah SAW dalam sabdanya. Kotak Kosong tetap pilihan!