PEMBENTUKAN BKR, API DAN GRI DI PANGKALPINANG
Akhmad Elvian-screnshot-
oleh: Dato' Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
SETELAH Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, kita belum memiliki tantara, dan untuk menjamin ketentraman umum di Indonesia dibentuklah Badan Keamanan Rakyat pada Tanggal 22 Agustus 1945 dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
--------------
BADAN Keamanan Rakyat atau disingkat BKR adalah badan yang bertugas untuk melakukan pemeliharaan keamanan bersama rakyat yang tergabung dalam badan badan perjuangan dan jawatan jawatan negara serta BKR sekaligus dibentuk untuk menghadapi penguasa Jepang yang masih memiliki persenjataan lengkap. Anggota BKR terdiri atas para pemuda Indonesia yang tergabung dalam badan badan perjuangan rakyat, barisan barisan perlawanan rakyat dan orang orang yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger) dan lain sebagainya.
Di samping membentuk BKR, dalam sidangmya PPKI juga membentuk Komite Nasional, dan Partai Nasional Indonesia (Poesponegoro dan Notosusanto 1984: 99-100). Badan Keamanan Rakyat (BKR) didirikan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk memelihara keselamatan masyarakat, atau merupakan bagian dari Badan Penolong Keluarga Korban Perang, dan bukan merupakan organisasi tentara, karena BKR dibentuk untuk melindungi keselamatan rakyat dan menghindari konflik bersenjata dengan kekuatan-kekuatan asing yang pada waktu itu masih berada di Indonesia, bahwa di Pulau Bangka sampai dengan pertengahan bulan Januari 1946, balatentara Jepang dari berbagai daerah di Bangka dan Belitung masih berkumpul di Kota Mentok untuk menyerah kepada pasukan sekutu dan para interniran Belanda juga masih berada di Pulau Bangka.
Berdasarkan rencananya, bahkan Pulau Bangka akan dijadikan tempat penampungan interniran Belanda, sebagaimanana dikutip Sujitno (1996:166,168): Dari dokumen Departement van Justice No.1174/DP/VI.a.o. 7 Januari 1946. Bangka Belitung akan menjadi tempat penampungan sekitar 20.000-30.000 orang Belanda bekas tawanan Jepang. Alasannya adalah karena di Pulau Bangka separuh dari penduduknya adalah orang Tionghoa yang Tiga per-Empatnya adalah peranakan, sedangkan orang-orang Jawa dan Sumatera hanya 400 orang; sisanya sebagian besar orang Melayu “yang cinta damai dan lebih cocok dengan Tionghoa Peranakan daripada orang Jawa dan Sumatera”.
Dengan yakin dikatakan dalam laporan bahwa:
”pendudukan ini (di Bangka Belitung) tidak akan terjadi pertumpahan darah barang setetespun”.
Perkiraan yang ternyata meleset, sehingga upaya untuk pemindahan para bekas tawanan Jepang ke Bangka dan Belitung itu dibatalkan. Di luar dugaan ternyata daerah yang terisolir ini menunjukkan potensi menentang Belanda. Informasi mengenai mudahnya Bangka dan Belitung untuk “diamankan” terbukti dikemudian waktu tidak semudah yang diperkirakan.
Keputusan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR) berlaku menyeluruh untuk semua daerah. BKR Pusat mengontak dan melakukan koordinasi dengan tokoh-tokoh pejuang atau badan-badan perjuangan yang ada di daerah. Badan Keamanan Rakyat sebagai pencapaian kemerdekaan telah meningkatkan pengaruh para pejuang untuk mempertahankan otoritas atas nama Republik Indonesia (De Tijd, 18 Desember 1945, Algemeen handelsblad, 20 Desember 1945). Dengan segala keterbatasannya, BKR Daerah dapat dibentuk meskipun dalam lingkup yang kecil. Pembentukan ini juga dilakukan pada daerah-daerah keresidenan meskipun tidak menyeluruh (Rahardjo 1995). Unit-unit BKR segera terlibat dalam perjuangan, seperti membantu merebut gedung-gedung pemerintah dari penguasaan Jepang, bahkan menangkapnya jika menolak meninggalkan gedung (Kahin 1995: 178).
Sebagai kelanjutan pembentukan BKR di Jakarta, dan sebagai satu Keresidenan, Kepulauan Bangka Belitung juga membentuk Badan Keamanan Rakyat terkhusus di Kota Pangkalpinang yang merupakan ibukota Kersidenan Bangka Belitung. Pada awal bulan September 1945, BKR dibentuk di Pangkalpinang oleh bekas heiho (tentara pembantu) dan giyugun (tentara sukarela) pada masa pendudukan Jepang di Indonesia serta organisasi organisasi dan badan badan perjuangan rakyat yang bertujuan untuk menjaga keamanan dan keselamatan rakyat setelah proklamasi kemerdekaan. Mereka (bekas heiho dan giyugun) dikumpulkan di rumah sekolah yang terletak di Jalan Jagal Pangkalpinang, yaitu di lokasi sekolah Budi Mulia Laurdes (sekolah telah berdiri sejak bulan April 1934 oleh pastor Pater Bakker.ss.cc dan pengelolaannya diserahkan kepada bruder-bruder Budi Mulia) (Elvian, 2009:32).
Salah satu organisasi atau badan perjuangan rakyat yang tidak bernaung di dalam Badan Keamanan Rakyat adalah API (Angkatan Pemuda Indonesia), yang keanggotaannya terdiri dari kalangan pemuda. Pembentukan organisasi API (Angkatan Pemuda Indonesia) dicetus oleh tokoh tokoh pemuda Pangkalpinang dan pulau Bangka seperti Ismail Ali dan didukung oleh teman-temannya yakni Idris Sani, Abdullah Aziz, Arief Ahmad, Sumarsono, Muhammad Isya, Hamdani, Suryatin, Badar Muluk dan Bunyamin Rasidi. Selain API yang anggotanya di dominasi oleh para pemuda, para tokoh masyarakat Pangkalpinang juga membentuk barisan yang disebut Gerakan Rakyat Indonesia (GRI). Tujuan kedua barisan ini sama-sama menjaga keamanan Bangka dari gangguan pihak musuh. Pembentukan API (Angkatan Pemuda Indonesia) dan Gerakan Rakyat Indonesia (GRI) dilaksanakan di gedung yang sekarang menjadi Griya Timah Pangkalpinang, milik PT. Timah, TBK.