BATU BERANI DAN BIJIH BESI DI PAKUK

Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan 

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

PULAU Bangka dalam catatan sejarah tidak hanya menghasilkan bijih Timah, akan tetapi juga menghasilkan bijih Besi yang oleh masyarakat sering disebut Batu Berani atau Batu Rekat. 

--------------

DALAM Carita Bangka Het Verhaal van Bangka Tekstuitgave met Introductie en Addenda (1990) halaman 67,

...Maka Raja Alam tahulah itu batu sudah hancur menjadi besi. Sebab itu Dia tahulah itu tanah Bangka ada sedikit berisi Batu Besi. Maka disuruhnya patih Raksa Kuning dengan segala menteri, proatin memeriksa dan mencari menggali batu yang lebih dapat keluar besi demikian itu. Dengan sebab itu sudah dapat orang di dalam tanah Pakuk sebab kelihatan dari hal membakar ladang ada batu yang jadi hancur sama juga bagaimana orang sudah tunjukkan tadi kepada Raja Alam Harimau Garang. Maka dengan sebab itu disuruh gali di tanah Pakuk. Maka sudah dapat batunya dipuput jadilah besi. 

Sebab itulah lebih dulu sudah dapat besi….Selanjutnya Berita tentang keberadaan Bijih Besi di Pulau Bangka diketahui dalam catatan VOC, pada Tanggal 11 Juli 1668, dalam Dagh-Register, sebagaimana dikutip oleh Heidhues dinyatakan, bahwa Jan  de  Harde,  saat  kembali,  Ia  menegaskan  bahwa  meskipun penguasa setempat amat ramah, tetapi pulau Bangka tidak menghasilkan apa-apa yang berharga bagi VOC. Kesempatan untuk menguasai damar, minyak damar dan kemungkinan juga Besi tidak dapat dijadikan alasan untuk bermusuhan dengan Kesultanan Palembang, yang memberikan sumber komoditi jauh bernilai, yaitu Lada. Bangka kemudian diabaikan (Heidhues, 2008:3). Kemudian catatan tentang Bijih Besi di Pulau Bangka dapat dipelajari dalam Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, no.41 dinyatakan bahwa: Penemuan bijih besi di daerah Pelangas yang dimuat dalam Keputusan Pemerintah Tanggal 19 Oktober 1851, Nomor 15, dan kemudian ditemukan juga kandungan Magnet atau Batu Rekat di pegunungan Paku, distrik Koba yang memungkinkan untuk dieksploitasi. Komoditas ini diharapkan dapat menjadi sumber pemasukan baru bagi pemerintah Kolonial Belanda di pulau Bangka selain Timah (Elvian, 2019:321).

BACA JUGA:RIMBAK, REBAK, PEMITAK, KUBAK, BEBAK DAN KELEKAK (Bagian Delapan)

Sewaktu Kesultanan Johor, Kesultanan Minangkabau (Tahun 1641) dan Kesultanan Banten (Tahun 1651) berkuasa di pulau Bangka atau pada sekitar awal dan pertengahan abad 17 Masehi, sudah berkembang beberapa batin di wilayah Bangka bagian Selatan, seperti Batin Olim (dekat sungai Olim/Ulin), beberapa batin di dekat sungai Kepo seperti Batin Gerunggang, Batin Jiwad atau Batin Balaikambang dan Batin Ketapik (Elvian, 2010:65), kemudian Batin Nyireh (dekat sungai Nyireh), Batin Balar (dekat sungai Balar) dan Batin Pakuk. Batin Balar dan Batin Pakuk, oleh Bupati Nusantara, raja muda (juwaraja) Kesultanan Banten yang berkuasa di pulau Bangka, kemudian dikembangkan sebagai wilayah kepatehan yang dipimpin oleh seorang pateh/patih atau proatin (wakil pateh/patih) yang membawahkan masing-masing sekitar Lima Batin Pengandang (Wieringa, 1990:71). 

Pengembangan wilayah Pakuk menjadi kepatehan dengan lima batin pengandang menunjukkan wilayah tersebut adalah wilayah penting sebagai penghasil Batu Berani atau Bijih Besi. Puncaknya pada Tahun 1729 Masehi, ketika terjadi perselisihan antara Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo dengan saudaranya sendiri Sultan Anom Alimuddin, di wilayah Pakuk didirikan satu benteng oleh Raden Klip, putera Sultan Anom Alimuddin. Raden Klip membangun markas di Pakuk yang bertujuan ingin menguasai pusat-pusat penambangan Timah yang ada di pesisir Barat pulau Bangka yang dipertahankan melalui Toboali (Horsfield, 1848:307). Dalam catatan Luitenant Kolonel H.M. Lange, seorang militer Belanda yang bertugas di pulau Bangka: Het eiland Banka en zijne aanhoorigheden, en anderen, 1852-1857, halaman 68, 

…Sultan Anom (later te Palembang terdoodgebragt) alhier, en wijderste Pako en elders op Banka, gedurende de jaren 1722 tot 1732 verschansingen had opgerigt, ten eindezich op Banka staande te houden, maksudnya sejak Sultan Anom (kemudian dibunuh di Palembang) yang telah diusir dari Palembang membangun kekuatan di sini, dan yang telah membangun kekuatan tersebar luas sampai di Pako (Pakuk) dan di tempat lain di pulau Banka selama Tahun 1722 hingga 1732 untuk berkuasa  atas pulau Banka. Benteng tersebut kemudian dihancurkan oleh Abraham Patras yang memimpin pasukan VOC atas permintaan Sultan Mahmud Badaruddin I Jayo Wikromo. Pasukan VOC menyerang dan menghancurkan benteng Pakuk dan kemudian dari Paku dan Bangkakota menyerang ke Kubak, sepanjang perjalanan mereka menghancurkan benteng-benteng Sultan Anom dan akhirnya menghalau Sultan Anom dari Koba. Pada bulan Agustus 1731, Sultan Anom dengan 500 pengikutnya melarikan diri ke pulau Belitung. Kekuatan VOC yang sudah mengamankan perdagangan Timah dan Lada, kembali ke Palembang (Schuurman, 1898:7-9).

Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam di bawah kekuasaan Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) dan pada masa pulau Bangka   dipimpin oleh Abang Pahang Tumenggung Dita Menggala, wilayah Kepatehan Pakuk diubah statusnya menjadi Kadipaten Pakuk  (gelar pateh pada masa Kesultanan Palembang Darussalam  diganti dengan gelar depati). Depati Pakuk kemudian membawahkan 6 batin pengandang dan 2 krio. Pada masa Sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo, untuk meningkatkan produksi Timah sebagai penghasilan utama Kesultanan Palembang Darussalam, kemudian didirikanlah beberapa pangkal atau negeri tempat kedudukan demang dan jenang di wilayah Depati Pakuk. Berdirilah beberapa pangkal atau pengkal yaitu Pangkal Toboali, Pangkal Kepoh, Pangkal Balar dan Pangkal Koba/Kubak (Sujitno, 2011:160).

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan