Kerenyek

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

 

DALAM politik ternyata tidak perlu “tahu diri” 

yang penting “ade kerenyek” (ada maunya), berani unjuk diri,

pacak (bisa) atur strategi guna mengincar posisi/kursi.

------------

PEMILU 2024 baru berlangsung dan Pilkada Serentak 2024 sedang berlangsung. Semarak pesta Demokrasi Pilkada Serentak 2024, termasuk di Kepulauan Bangka Belitung, sudah kian ramai, terlebih dengan semaraknya kotak kosong yang ternyata dianggap lebih berisi dari calon tunggal. Ini membuktikan bahwa persoalan politik masih menjadi hal yang sangat mengasyikkan untuk diperbincangkan banyak kalangan. Kekuasaan di negeri ini adalah hal yang “wah” bagi masyarakat dan para penggila jabatan dan kekuasaan. Tak heran di era bumi semakin tua ini kesuksesan seseorang itu diukur dari kedudukan atau jabatan yang ia sandang. Oleh karenanya semakin terbukanya ruang demokrasi bebas (hampir tanpa batas) telah membuka ruang bagi siapa pun yang berambisi menjadi penguasa dan menguasai. 

Imbas dalam demokrasi ini pun membuat kehidupan masyarakat kita dalam berbagai tatanan menjadi bias. Semenjak kran uphoria demokrasi terbuka lebar, maka dari pipa-pipa demokrasi itu mengalirlah manusia-manusia pengejar kursi namun minim prestasi. Jangan terlalu heran jika akhir-akhir ini kita tidak bisa lagi membedakan mana tuntunan mana tontonan, mana ulama benaran mana ulama kemasan, bahkan ada yang kemasan sachet. Kita semakin sulit membedakan mana motivator mana provokator, mana pelajar mana pelacur, mana modin mana “mencadin”, mana alkohol mana teh botol, mana arak mana teh kotak, dan sebagainya. 

Kita hanya tahu bahwa manusia-manusia yang ditampilkan dan dipuja-puji media adalah tuntunan yang harus diidolakan. Kita hanya tahu bahwa yang banyak duit bakalan banyak pengikut dan kalau kita tidak ikut maka kita bakalan terpinggirkan. Kita hanya tahu Ahok hebat karena belaian dan polesan media serta dukungan cukong-cukong luar yang luar biasa namun tak kan mungkin saat ini bisa terungkap media karena media sudah dikuasai. Kita hanya tahu partai-partai Islam dimediakan (diberitakan) seakan penuh koruptor dan Islam diolol-olok di negeri mayoritas muslim. Ngeri, sedih, memilukan sekaligus memalukan. 

Kita hanya tahu bahwa materi, popularitas lebih penting dari segalanya bahkan Sang Maha Pemberi Materi, yakni Allah SWT tak lagi berarti. Kita lebih hormat dan lebih tunduk kepada Ketua Partai ketimbang orangtua kandung sendiri bahkan firman-firman Tuhan sekalipun. Karena kekuatan dan kekuasaan Ketua Partai adalah segalanya bagi seorang politikus, karena Tuhan tidak punya “tanda tangan”. Karena “syahadat” politikus kita adalah tunduk dan patuh kepada Ketua Partai.

Oleh karenanya, dalam ranah politik di era uphoria demokrasi ini, kita sudah berpengalaman memiliki para Wakil Rakyat dari Profesor sampai tukang becak, dari ulama sampai tukang palak. Kita juga memiliki Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dari artis sampai “anak kecil” belum mumayiz”, dari anak sopir bemo sampai anak germo, dari yang santun sampai yang “dak inga”, dari yang tawadhu’ sampai yang “taipau begereng”. 

Oleh karenanya, bicara tahu diri sesungguhnya tidak laku dalam politik seperti sekarang ini. “Tahu diri” hanya boleh dibicarakan namun sangat tidak baik digunakan dalam ranah politik, termasuk kejujuran dan komitmen. Karena “tahu diri” itu akan mengikis ambisi-ambisi yang ada serta “tidak” menyehatkan bagi perkembangan jiwa (ambisi) seorang politikus. Media bisa dimiliki, timses bayaran bisa dibuat, konsultan kelas “wani piro” bertebaran se-antero negeri. Tepat sekali apa yang dikhawatirkan bahwa godaan manusia itu ada 3, Harta, Tahta dan Wanita. Ketiganya itu bagaikan meminum air laut, semakin diminum semakin kering tenggorokan.

***

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan