Mewaspadai Sisi Lain Dampak dari Media Sosial
Aileen Chavia Santosa-istimewa-
Jika tadi dalam hal informasi, maka sekarang dalam hal menyimpan kenangan dan memori yang kita sayangi. Masyarakat sebelum era digital umumnya akan menyimpan kenangan yang mereka sayangi dalam sebuah film, menjadi sebuah foto yang kemudian disimpan dalam sebuah album atau dipajang dalam sebuah bingkai di rumah.
Pada saat ini menyimpan yang disebut kenangan dilakukan di media sosial. Hal tersebut tak lepas dari sifat alamiah manusia sebagai makhluk sosial yang senang berbagi.
Hanya saja takaran sebuah "kenangan indah" itu berbeda-beda bagi tiap orang. Pada dasarnya, sebuah hal kecil sesederhana makan bersama keluarga juga merupakan kenangan yang indah apabila kita menyadari dan bersyukur atasnya.
Ketika sudah berhubungan dengan media sosial, itu berarti kenangan tersebut akan dipertontonkan dan diperlihatkan di depan publik. Karena itulah setiap orang cenderung akan berpikir dua kali lebih banyak untuk memosting kenangan tersebut. Selalu muncul pertanyaan, apakah foto ini layak di-post atau apakah nanti postingan ini diterima oleh warga media sosial?
Di sisi ain, ironisnya media sosial menjadi ajang pamer adu gaya hidup, bukan lagi untuk menyimpan sebuah kenangan indah. Dan perilaku atau tren untuk menjadi "sempurna" ini tertanam dan menjadi sebuah nilai dalam masyarakat.
Masyarakat jadi beranggapan bahwa hidup itu harus terlihat sempurna di mata semua orang. Individu beranggapan bahwa saya harus memiliki hidup yang sesuai dengan ekspektasi orang.
Bahkan ada individu yang beranggapan harus memenuhi standar agar dapat diterima di kehidupan sosial dan dapat berada di tingkat status sosial yang sama, walaupun pada kenyataannya tidak demikian.
Siapa di antara kita yang tidak ingin disukai? Tentu semua orang pada dasarnya ingin disukai dan disenangi. Maka dari itu media sosial menyediakan fitur like di dalamnya.