Watuk dan Watak

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

DALAM falsafah Jawa, “Watuk” (Batuk) cukup minum obat dan sangat mudah untuk sembuh, tapi kalau “Watak” tidaklah gampang dan membutuhkan waktu yang sangat lama dan belum tentu sembuh.

------------

SEORANG sahabat etnis Tionghua, pernah memberikan nasehat kepada saya, bahwa seseorang yang sudah di-trade mark berperilaku buruk, maka jadi apapun dan bagaimana pun posisinya tetaplah hal tersebut melekat. Kalau orang Bangka tempoe doeloe menuturkan “Buntut Kileng” atau dalam bahasa Melayunya “Imang lah takok”. 

Setiap orang adalah sejarawan bagi dirinya sendiri maupun dalam catatan orang lain. Setiap orang memiliki catatan dalam lembaran-lembaran kehidupan yang akan terus diingat hingga akhir hayat bahkan ada yang hingga sampai kiamat. Oleh karenanya, saya, Anda dan kita semua memiliki nilai tersendiri di mata orang lain. Penilaian orang terhadap diri kita dari berbagai sudut pandang, baik itu profesi, karakter diri, perbuatan yang sering dilakukan, ucapan, bentuk tubuh, pengetahuan, nasib bahkan juga nasab (keturunan). 

Kita mengenal Soekarno sebagai founding father negeri ini, karena kualitas intelektual dan nasionalismenya. Kita mengenal Buya Hamka karena kekokohannya memegang prinsip serta karyanya, pun kita mengenal KH. Zainuddin MZ karena ceramahnya yang humoris dan menggunakan bahasa masyarakat awam sehingga diterima semua kalangan. Juga kita mengenal Rocky Gerung dengan istilah “dungu”-nya. Raja Dangdut Rhoma Irama dengan kalimat “terlalu” yang populer. Dilain sisi kita mengenal Dr. Azhari dan Noordin M. Top, Amrozi karena bom dan terorismenya, kita mengenal Lucinta Luna karena sensasi tak bermoralnya, kita mengenal Inul Daratista karena goyang ngebornya. Kita mengenal Sule dengan lawakannya yang serba bisa dan juga kita mengenal pelawak kawakan Haji Bolot dengan “budek” alias tulinya tapi tidak tuli kala mendengar kalimat duit, cewek dan tawaran makan atau ngopi.

Ini artinya, seseorang akan dikenal oleh orang lain dari karakter atau watak dirinya, hal yang sering ia ucapkan atau yang ia lakukan. Bahkan di kampung-kampung, nama seseorang seringkali ada ujungnya, yakni dari kepribadiannya, tandanya, kebiasaan sang pemilik nama. Misalnya, Udin yang sering nongkrong di depan gerbang disebut “Udin Portal”, Udin yang jual Kecap dipanggil “Udin Kecap”, juga Udin yang punya tompel dipanggil “Udin Tompel” dan sebagainya. So, kita harus hati-hati dengan kebiasaan, ucapan dan segala tingkah laku yang akhirnya menjadi tanda bagi orang lain terhadap diri kita. Ketika ini sudah terjadi, maka sangat susah dirubah.  

Nah, seseorang yang tidak bisa dipercaya atau memiliki kepribadian buruk yang susah dirubah, oleh masyarakat Tionghoa di Pulau Bangka seringkali disebut dengan Buntut Kileng. Buntut Kileng, kalimat itu dulunya pertama kali saya dengar dari sahabat Tionghoa di Pangkalpinang. “Buntut” yang bermakna ekor, sedangkan “Kileng” artinya bengkok. terjemahan bebas dari kalimat “buntut kileng” ini adalah sifat dasar dari ekor adalah bengkok yang sulit untuk diluruskan. Sekali arang tercoreng di dahi, seumur hidup orang akan teringat. Sedangkan orang Melayu di Pulau Bangka mengistilahkan makna yang sama ini dengan kalimat “Lah Takok”. Kalau masyarakat Melayu Bangka sudah berkata dengan kalimat: “Lah Takok”, artinya karakter buruk dalam diri seseorang atau kelompok itu sudah susah untuk dirubah, kecuali Tuhan punya kehendak. Begitupula dengan kalimat “buntut kileng” yang diistilahkan oleh masyarakat Tionghoa Bangka.

Watak Kita Negeri Timah

SEPERTINYA sudah menjadi hukum alam, dimana suatu daerah yang memiliki Sumber Daya Alamnya yang tinggi, maka Sumber Daya Manusianya (SDM) rendah. Sangat nampak sepertinya sejak perjalanan Negeri Serumpun Sebalai ini. SDM kita sepertinya masih perlu diperbaiki. Sebab kita lebih banyak berceloteh ria ketimbang berkarya. Lebih ramai di media sosial ketimbang aksi di dunia nyata. Lebih suka meminta ketimbang memberi, banyak mengeluh daripada bersyukur, suka ngate urang ketimbang memberikan ruang, lebih banyak kiyun kene dak keruan jatak ketimbang mengolah gawi, lebih suka koar-koar ketimbang berpikir, suka berkata tanpa data, suka menyalahkan orang ketimbang introspeksi diri, dan sebagainya. Tentunya watak seperti ini tanpa diperbaiki, maka lambat laun kita tidak akan banyak berubah. 

Misalnya, akhir-akhir ini begitu banyak curhat para sahabat kepada saya mengenai lesunya ekonomi yang tentu sangat berpengaruh pada kehidupan rumah tangga dan pendidikan anak. Bahkan sebenarnya isi curhat sahabat itu juga isi dari apa yang ada dalam diri saya, hanya saja tidak terungkap dalam bentuk curhat kepada mereka. Kadang saya berpikir ekstrim, bahwa ini semua terjadi selalu berulang, yakni Pemilu dan Pilkada tak banyak merubah suasana akibat watak kita sendiri. Rakyat mudah ditipu dengan janji dan lembaran uang, apalagi kalau bukan karena watak pengejar kekuasaan. Pejabat pun demikian tak banyak berubah perilaku, yakni mengembalikan modal kampanye hingga kampanye berikutnya, sehingga tak ada waktu untuk bekerja demi rakyat kecuali slogan. 

Memang, perekonomian masyarakat di Bangka Belitung bahkan Indonesia di era sekarang ini sedang lunglai. Bukan saja soal hutang negara yang kian menumpuk, tapi juga keamanan, kenyamanan dan kehidupan yang kian tidak menentu sebagai anak negeri di negeri sendiri. Wajar saja beberapa orangtua tua di kampung pada desa pertanian maupun desa nelayan mengeluh dengan mengatakan bahwa sepanjang hidup mereka belum pernah keadaan sengsara seperti sekarang ini. Betapa tidak, kesederhanaan berpikir mereka diukur dari hasil produksi yang mereka lakukan. Misalnya dulu 1 kilogram karet bernilai bisa mendapatkan 5 sampai 6 kilogram beras. Sedangkan saat ini justru terbalik, 5 sampai 6 kilogram karet hanya dapat memperoleh 1 sampai 2 kilogram beras. 

Apabila hal tersebut terjadi semuanya, maka kesempatan kerja juga menurun, produktivitas ekonomi rumah tangga menurun, daya beli menurun sehingga terjadi kelesuan perekonomian seperti saat ini. Maka wajar saja jika saat ini kerapkali terjadi sindir menyindir di kampung-kampung, bagi suami yang tak mampu lagi memberi makan kepada anak isterinya, dan ia disebut sebagai laki (suami) bodoh karena tidak bisa melihat peluang. Seperti dalam sebuah pantun lama di Pulau Bangka, “Terak Teru Dinding Papan, Laki Budu Bini Dak Makan”.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan