Beda Bahasa, Beda Cara Berpikir, Beda Kepribadian

Vindi Kaldina, MA-Dosen Sastra Inggris Universitas Bangka Belitung-

BACA JUGA:Green Leadership untuk Generasi Mendatang

Keunikan bahasa lainnya berhubungan dengan pengaruhnya terhadap ingatan atau kenangan kita. Dalam bahasa Inggris, jika seorang anak secara tidak sengaja memecahkan vas, kita biasanya mengatakan “he broke the vase.” Kalimat yang secara harfiah berarti “Dia memecahkan vas itu” menempatkan tanggung jawab pada si anak, meskipun dalam bahasa Indonesia biasanya kita menambahkan kata “tidak sengaja” ketika menerjemahkan kalimat tersebut. 

Dalam bahasa Spanyol, penuturnya akan mengatakan “El jarrón se rompió” atau “Vasnya pecah,” dan ini lebih mengaitkan kejadian tersebut kepada lingkungan sekitarnya. 

Perbedaan yang terlihat kecil ini dapat menciptakan konsekuensi besar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penutur bahasa seperti Spanyol, yang cenderung menganggap kejadian seperti ini sebagai “ketidaksengajaan,” lebih jarang mengingat orang yang terlibat dalam kejadian tersebut. Maka, jika seorang bocah tidak sengaja menyenggol sebuah vas hingga vas tersebut pecah, kemungkinan besar yang diingat para saksi di masa depan hanyalah “vas tersebut pecah,” bukan siapa yang memecahkannya. 

BACA JUGA:Disiplin Guru Budaya Sistem Pendidikan

Dalam bahasa yang menekankan niat, para pelaku dari sebuah perbuatan akan diingat dengan lebih jelas. Dan jika suatu peristiwa berakhir di pengadilan, terdakwa lebih mungkin dinyatakan bersalah jika bahasa yang digunakan selama persidangan bersifat aktif, seperti bahasa Inggris.

Bagaimana dengan perilaku penutur sebuah bahasa? Bahasa sering dikaitkan dengan budaya dan konteks di mana bahasa itu dipelajari. Karenanya, mereka yang multilingual (menguasai lebih dari satu bahasa) seolah menunjukkan kepribadian berbeda setiap menuturkan bahasa yang berbeda. 

Sebuah studi pada tahun 2006 oleh Nairán Ramírez-Esparza, Samuel D. Gosling, Verónica Benet-Martínez, Jeffrey P. Potter, dan James W. Pennebaker tentang para bilingual (menguasai dua bahasa) yang berbahasa Spanyol dan Inggris menunjukkan bahwa mereka menunjukkan kepribadian yang berbeda ketika mereka berganti bahasa. Saat berbicara dengan bahasa Inggris, para subjek terlihat lebih ramah, tetapi saat mereka beralih ke bahasa Spanyol, mereka terlihat lebih kompulsif.

BACA JUGA:Saat Humanisme Berpaling Dari Peta Sastra Dari Dunia Sana

Boroditsky juga mengungkap hasil penelitian di tahun 2003 yang mengungkapkan bahwa kata-kata yang kita ucapkan juga mempengaruhi bagaimana kita merasa tentang diri kita sendiri, bahkan tentang bagaimana kita merasakan rasa sakit. Para bilingual melaporkan tingkat rasa sakit yang lebih tinggi ketika mereka berbicara dalam bahasa yang paling mereka kuasai. Teorinya adalah jika satu bahasa mewakili bagian terbesar dari identitas mereka, mereka juga memersepsikan sensasi di dalam tubuh mereka dengan lebih intens.

Di tahun 2010 juga, Mark Liberman menulis argumen yang menentang gagasan Lera Boroditsky dengan menyebut bahwa Boroditsky terlalu menyederhanakan kesimpulan dari penemuan-penemuan tersebut. Liberman berpendapat bahwa kita tidak seharusnya menganggap bahasa sebagai satu-satunya faktor yang membentuk dan membatasi pemikiran. Ia menyebutkan bahwa pandangan ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan generalisasi yang berlebihan. 

Liberman percaya bahwa pemikiran dan konteks budaya juga membentuk bahasa, dan ketiadaan kata tertentu dalam suatu bahasa tidak serta-merta menandakan ketiadaan konsep yang sesuai dengan kata tersebut. Generalisasi yang berlebihan juga mengakibatkan eksotisasi terhadap suatu bahasa dan kaum tertentu, dan eksotisasi selalu mengarah pada “pembedaan” kaum lain yang dapat berisiko diskriminasi. Pada dasarnya, Liberman percaya bahwa hubungan antara bahasa dan pemikiran sifatnya lebih dinamis dan bertimbal balik daripada yang dijelaskan Boroditsky, karena bahasa selalu beradaptasi terhadap ide-ide dan praktik budaya baru. 

BACA JUGA:Pembelajaran Diferensiasi dalam Pembinaan Kepramukaan

Seperti yang ditulis oleh Benjamin Lee Whorf, ahli bahasa di balik teori relativitas bahasa, "Bahasa bukan sekadar alat untuk menyuarakan ide tetapi lebih merupakan pembentuk ide, program, dan panduan untuk aktivitas mental individu." Jadi, jika Anda pernah belajar bahasa baru, ingatlah bahwa Anda tidak hanya mempelajari kata-kata baru. 

Anda sedang membuka pikiran Anda terhadap cara baru dalam memandang dan berinteraksi dengan dunia. Bahasa sangatlah luwes, dan perkembangan teknologi yang menghubungkan kita di seluruh dunia membuatnya semakin fleksibel dan kaya. Bagaimana menurut Anda? Apakah Anda menguasai lebih dari satu bahasa? Jika demikian, apakah Anda merasa perilaku Anda berubah ketika Anda bertukar dari satu bahasa ke bahasa lainnya?**

Tag
Share