Becelekeh Politik
Ahmadi Sopyan--
POLITIK itu strategi yang setiap saat bisa berubah sesuai kebutuhan. Di tahun politik ini, sudah seharusnya kita berkomitmen bahwa politik itu hanya sesaat, tapi berteman, bersahabat, bertetangga dan “seperadik” (saudara) adalah untuk selamanya.
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
Akhir tahun 2023 ini, perpolitikan di Indonesia kian memanas, baik itu di media sosial maupun dalam kehidupan sosial yang nyata (keseharian). Diwarung kopi mana yang tidak berbicara politik, perkumpulan mana yang tidak menyentuh politik? Terlebih kalau saat ini anda menghadiri reuni. Bahkan beberapa waktu lalu, saya ikut tahlilan, tiba-tiba saat santai menghisap rokok sebelum tahlilan (sambil menunggu tamu undangan lain), tiba-tiba seseorang berbicara Capres/Cawapres dengan memuji-muji pilihannya dan menjelek-jelekkan Capres/Cawapres yang lain.
BACA JUGA:“Sibeng” Sana “Sibeng” Sini
Karena dia persis didepan saya sambil berdiri, akhirnya saya ladeni dengan menyebut 2 nama Capres/Cawapres yang bukan pilihannya. Ternyata merah juga wajahnya ketika saya berbicara konstitusi serta hal lain yang berkaitan dengan pujian membabi butanya. “Saya tidak peduli konstitusi, pokoknya saya pilih si ini. Yang lain itu nggak ada yang benar” sampai mukanya yang hitam nampak makin merah padam dengan mata melotot seperti saya sedang berhadapan dengan singa yang siap menerkam.
“Kalau mau berdebat dengan saya, ayo, kita atur waktunya. Tapi nggak usah bawa-bawa konstitusi” begitu katanya yang membuat saya tertawa ngakak melihat tingkah orangtua satu ini. “GImana kok nggak boleh bicara konstitusi, ini kan negara kita berdiri dalam konstitusi, peraturan dan undang-undang. Kalau kitabicara politik, pasti tidak lepas dari “kitab konstitusi” sebagaimana kalau kita bicara agama Islam pasti tidak lepas dari kitab kita Al-Qur’an dan ditambah dengan hadits”. Singkat cerita, dia minta maaf dan di lain kesempatan setelah tahlilan saya pun menasehatkan bahwa nggak usah bicara politik karena bukan pada tempatnya. Sebab kita berdebat sesuatu yang kita sendiri tidak pernah paham dan bukan pakarnya. “Jadi, hidup biasa-biasa saja, sesuai kemampuan dan bicara juga biasa-biasa saja, sesuai isi kepala”.
Memang demikian, “becekeleh” (berdebat) soal politik ini nyaris tidak bisa dihindari, terlebih di tahun-tahun politik seperti ini. Saya yang sudah “sembunyi untuk menepi” di kebun tepi sungai, setiap hari ada saja yang datang mengunjungi. Tak sedikit dari yang datang itu adalah orang-orang yang sengaja untuk berbicara (berdiskusi/debat kusir) berkaitan dengan politik, terutama Capres/Cawapres.
BACA JUGA:Ndasmu Etik Ndasmu Mumet
Tidak jarang saya katakan bahwa saya tidak mau bicara politik, makanya kalau di kebun saya ini cukup kita bicara soal kebun, cerita cewek, cerita masa lalu, bercanda, kisah bebulak ukan, cerita mancing dan sebagainya. Ternyata, justru para politisi dan pejabat yang datang tidak pernah berbicara politik. Pj. Gubernur Babel, Pj. Bupati Bangka, Bupati Bangka Barat, mantan Gubernur, Ketua DPRD, Anggota DPR RI, Anggota DPD RI, Dirut PT. Timah, Tbk, kawan-kawan Densus 88, Anggota POLRI, TNI, Bakamla, dan notabene caleg sekalipun, kalau datang ke kebun saya mereka malah berdiskusi hal lain.
Tidak pernah berdebat dan diskusi soal politik. Tapi, yang notabene bukan siapa-siapa, tinggal di kampung, profesi buruh, sengaja datang dan katanya mau diskusi politik kepada saya. kan stress dengarnya. Tak diladeni nanti dikira sombong, diladeni kepala kita pusing dan nggak nambah pengetahuan (wawasan), tapi lumayan buat bahan tulisan.
Politik itu adalah seni memainkan peran penting kita di ranah kekuasaan dan memegang wewenang untuk berbuat lebih banyak dan luas kepada masyarakat dengan pengabdian pada konstitusi negara. Politik untuk Indonesia yang dikenal sebagai masyarakat ramah tamah penuh cinta dan kasih sayang itu adlaah bukanlah politik sikut-sikutan, cacian, cemoohan, debat kusir yang bikin urat leher membengkak, ambisi sekedar berkuasa tanpa otak, tebar hoax, membunuh karakter seseorang hingga sampai ancaman dan intimidasi. Politik di Indonesia hendaknya dibuat asyik dan ceria, namun bergagasan cemerlang dalam memaparkan visi misi kedepan.
Asyik dan ceria tidak harus joget, tapi dengan senyuman manis, menghargai perbedaan, merangkul tanpa memukul, menggunakan argument bukan sentiment, mengajak bukan mengejek. Itulah yang harusnya menjadi bagian dari cara pemerintah mengenalkan demokrasi dalam politik Indonesia di masa yang akan datang. Saya yang notabene orang kampung dan hidup menepi di tengah hutan, bermimpi kedepannya demokrasi dalam politik Indonesia itu penuh dengan keceriaan yang berisikan gagasan cemerlang untuk Indonesia yang lebih indah.
Timses Indonesia Damai