Ndasmu Etik Ndasmu Mumet

Ahmadi Sopyan--

KALAU Lempah Kuning (masakan khas Bangka) yang dimakan adalah kepala ikan, tapi kalau Politik yang dimakan adalah kepala kawan. 

 

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

WALAUPUN bukan orang Jawa, tapi saya pernah belasan tahun (14 tahun) hidup di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Bahkan beristerikan orang asli Jawa Timur, sehingga sedikit banyak saya memahami dan berkomunikasi aktif berbahasa Jawa walau menetap di Pulau Bangka. Bahkan kuliner Jawa Timur seperti Rawon, Pecel, Lodeh dan sebagainya adalah makanan yang sangat saya sukai. Pun demikian dengan seni budaya juga tembang-tembangnya. Bahkan beberapa minggu terakhir ini, lagu yang paling sering saya putar saat di mobil adalah tembang berbahasa Jawa berjudul “Walisongo” yang diciptakan oleh adik kelas saya semasa nyantri di Pesantren di Jawa Timur, Gus Ahans Mahabie (Pimpinan Pondok Pesantren Honocoroko Wonogiri Jawa Tengah). Lagu yang diciptakan dan dinyanyikan banyak artis ini sering saya nyanyikan saat menyetir kendaraan. 

Beberapa hari lalu, saya telpon Gus Ahans Mahabie dan kami ngobrol ngalor ngidul tentang tembang bercampur sholawat Nabi tersebut. Adik kelas sekaligus sahabat sekamar yang berasal dari Jombang Jawa Timur ini memang selain alim dalam pengetahuan agama, beliau juga alim dalam hal seni dan budaya Jawa. Jadi Pesantren yang ia kelola adalah Pesantren yang sangat kental seni budayanya, termasuk busana dan seni Jawa menjadi bagian dari kurikulum Pesantren. Beberapa waktu, saya pernah menginap di Pesantren ini, di kediaman sang pimpinan Pesantren yang masih sangat muda dan dikenal santun sebagaimana toto kromo orang Jawa (Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat) yang sangat mengutamakan adab, adat dan etika dalam kehidupan, baik kepada alam, Gusti Allah, Kanjeng Nabi apalagi kepada sesama manusia.

BACA JUGA:“Sibeng” Sana “Sibeng” Sini

“Wong Jowo ilang jowone” (orang Jawa kehilangan Jawanya), maka bagi orang Jawa adalah keburukan akhlak yang sangat tidak pantas untuk diteladani apalagi dijadikan pemimpin. Kesantunan dan wibawa orang Jawa bukan pada kepintaran, kecerdasan, kealiman, namun pada tata krama kehidupan dan ucapan. Seorang calon pemimpin apalagi Calon Presiden, etika, adab, ucapan dan segala tindak tanduknya harus mampu menjadi teladan bagi orang lain, terlebih generasi muda. Makanya sejak zaman dahulu kala, seseorang yang diangkat menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki adab, etika dan tata krama yang tinggi, bukan sekedar intelektualitas semata.

Orang Jawa itu memiliki karakter halus dan sopan, tercermin ketika orang Jawa berbicara dan bersikap penuh dengan tata krama, unggah-ungguh yang sangat dikagumi oleh banyak suku diberbagai daerah bahkan dunia. Seorang Calon Presiden adalah orang wajib memiliki keteladanan dalam perilaku, ucapan, tata krama, adab, sikap, baik itu ditengah masyarakat, sedang pidato, diatas panggung, mendengar omongan orang, reaksi ketika dikritik, dipuji, dan sebagainya akan tersorot dan menjadi bahan bagi orang lain untuk mengomentari. Tentu ini hal yang sangat lumrah dan memang harus begitu, sebab seorang Presiden Republik Indonesia adalah cerminan dari rakyat Indonesia itu sendiri dan ia membawa karakter luhur bangsa besar ini. 

Ketika seorang calon Presiden dalam berdebat dan diskusi dengan menunjukkan sikap yang tidak sopan, nyinyir, menjulurkan lidah, “ngenyek” (mengejek), berjoget dan bersikap berlebihan menunjukkan betapa kualitas diri sangatlah rendah dalam memberikan keteladanan kepada orang lain. Bahasa mudahnya, mengontrol diri sendiri ia tidak mampu apalagi mengontrol orang lain dan persoalan bangsa yang pastinya bakalan rumit. 

Oleh karenanya, kata “ndas” dalam bahasa Jawa memiliki arti kepala. Bahasa Jawa memiliki kata-kata yang digunakan sesuai dengan tingkatan sopan santun saat seseorang berbicara atau mengomentari orang lain. Sebagaimana di Pulau Bangka, misalnya kepala untuk umum, “penujung” untuk kata sopannya. “Perot Aret” untuk kata kasar soal perut dan “pengenyang” untuk bahasa santunnya. Begitupula dengan bahasa Jawa dari kalimat “ndas” merupakan kata dalam bahasa Jawa Ngoko yang memiliki tingkatan paling rendah (kasar). Sementara kepala di tingkatan kedua biasanya disebut “sirah” dalam bahasa Jawa Krama. Sedangkan di tingkatan paling santun atau tertinggi adalah Jawa Kromo Inggil disebut dengan “mustaka”. 

Berkaitan dengan kata “ndasmu etik” biasanya digunakan dalam bahasa ejekan atau candaan kepada orang yang lebih muda atau sepantaran. Kata “ndas” adalah kata yang sangat rendah dan biasanya digunakan untuk menyebut kepala binatang atau mencaci maki seseorang. Jika digunakan dalam bahasa seorang pemimpin, ulama, orang berpendidikan, dalam pidato didepan umum, maka menggunakan kalimat “ndasmu” adalah hal yang sangat pamali dan ini disebut sangat-sangat kasar (kotor) dan sangat tidak etis sama sekali. Sehingga apapun pangkat orang tersebut, jubah yang ia pakai, titel yang berderet didepan dan dibelakan namanya, tidak akan berarti apa-apa kala ia tidak bisa menjaga adab dan etika terlebih adalah ucapan. Hal ini menunjukkan betapa karakter kokoh tertanam oleh leluhur kita berkaitan dengan adab, etika, adat istiadat dan lain sebagai sebagai karakter sebuah bangsa bernama Indonesia.

Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin sangat dipandang dari etika dan estitikanya, misal dari pakaian, jalan, makan, gandengan pasangan, membawa tas, duduk, berdiri, kala menjadi tuan rumah, saat menjadi tamu, saat ditengah masyarakat, saat rapat terbatas, saat rapat umum, saat pidato, bahkan bersin dan nguap sekalipun, tentunya memiliki etika dan estetika yang harus sempurna sebab ia adalah teladan bagi banyak orang. Ketika etika dan estetika ini tidak lagi dianggap penting, maka bersiaplah kehilangan karakter diri terlebih kalau ia adalah pemimpin, maka lambat laun karakter bangsa akan hilang dengan sendirinya. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan