BANGUNAN TRADISIONAL DI PULAU BANGKA (Bagian Tiga)

Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

 

PENJELASAN H.M. Lange tentang kondisi Kampung Serdang distrik Toboali dan keberadaan balai adatnya selengkapnya dijelaskan H.M.Lange: 

--------------

“DE weg van Koba naar Toboali is in vrij goeden staat en zou, wanneer eenige bruggen wat beter waren, geheel te paard kunnen afgelegd worden. Op dezen weg heeft men, 17 palen van Toboali, de kampong Serdang, waar- van de huizen, die meerendeels een goed aanzien hebben, om een groot vierkant plein gebouwd zijn, in welks mid- den eene groote balei van hout staat, verreweg de grootste welke ik op Banka gezien heb. Deze kampong munt in regelmatigheid en in het voorkomen der huizen uit boven alle andere welke ik zag, en heeft een zeer welvarend aanzien. Zij moet in 1846 veel hebben te lijden gehad van eenen inval van zeeroovers, die vermoedelijk met hunne kleinere vaartuigen de rivier van Kapo waren opgevaren.” (Lange, 1850:95). 

Perkembangan kampung dan rumah tradisional serta balai adat di Pulau Bangka selanjutnya dapat dipelajari berdasarkan catatan setelah perang semesta rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir, dan dalam buku Depati Amir Perjuangan dan Pengabdian Lintas Pulau Tahun 1848-1869  (Elvian, 2019:325-329) dinyatakan: …”Pembentukan kampung-kampung baru di Pulau Bangka dilakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda sepanjang jalan Distrik Muntok ke Distrik Toboali terdapat 51 kampung termasuk 45 kampung yang baru dibuka atau dipindahkan dari tempat lain. Dari jalan raya Pangkalpinang ke Utara sampai ke Kampung Bakem terdapat 22 kampung termasuk 20 kampung baru. Dari jalan raya Pangkalpinang ke Distrik Sungaiselan terdapat 7 kampung termasuk 6 kampung baru. Dari jalan raya Sungaiselan ke Kampung Kurau terdapat 7 kampung baru dan 3 kampung lama, dan di sepanjang jalan raya dari Bakem melalui Kampung Layang ke Distrik Sungailiat terdapat 7 kampung baru dan 1 kampung lama. 

Jumlah seluruh kampung yang terbentuk di sepanjang jalan raya yang dibangun pada akhir perlawanan rakyat Bangka, seluruhnya mencakup 98 kampung. Pada akhir Tahun 1851 telah terbentuk kampung yang terkonsentrasi di sepanjang jalan di Pulau Bangka mencapai 232 kampung, termasuk 99 kampung lama dan 133 kampung baru yang dibangun. Pembangunan kampung tersebut diatur dengan ketentuan yaitu setiap Tiga paal dibangun satu kampung kecil dan setiap Enam paal dibangun satu kampung besar. Kampung kecil terdiri atas 20 sampai 30 bubung rumah, dengan penduduk antara 80 sampai 100 jiwa, kemudian kampung besar terdiri atas 40 sampai  60 bubung rumah dengan penduduk berkisar antara 150 sampai 200 jiwa. 

Bentuk visual rumah tradisional Orang Darat pribumi Bangka masih dapat dilihat dari foto-foto pada permulaan abad 20, walaupun posisi rumahnya tidak berada di ladang ume akan tetapi sudah berada di kampung-kampung baru di pinggir-pinggir jalan yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda setelah usainya Perang Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir pada Tahun 1851. 

Beberapa bentuk visual rumah tradisional Orang Darat atau Orang Gunung pribumi Bangka dan Orang Cina dapat dilihat misalnya pada foto Straat in Katjoeng, Muntok, koleksi Tropenmuseum, Tahun 1914 dan foto tentang Woningen voor Chinese contractarbeiders op een tinonderneming te Koba, op de achtergrond een groep kinderen, anonymous, c.1900-c.1920 (Rumah untuk pegawai kontrak Cina di sebuah perusahaan timah di Koba, dengan latar belakang sekelompok anak-anak, anonim,c.1900-c.1920), koleksi Rijksmuseum.

Pada masa setelah Perang Rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Amir,  Balai Adat juga dibangun di tiap kampung baru yang dibangun. Balai adat yang difungsikan untuk  kegiatan adat oleh petugas adat atau penggawe adat biasanya dibangun pada posisi di bagian tengah kampung. Pemukiman penduduk di kampung yang baru dibangun ditempatkan dengan cara berderet dan berbaris mengikuti ruas jalan. Rumah-rumah penduduk tersebut selanjutnya disatukan oleh satu balai, biasanya tipe kampung yang dibentuk selalu mencari wilayah yang ada sumber mata air (pemandian kesarangan), ladang rumbia dan di pertengahan kampung dibangun surau atau masjid serta dibagian ujung kampung dijadikan sebagai lokasi perkuburan. Balai Adat yang dibangun di kampung selain dipergunakan untuk mengawasi kondisi kampung-kampung, juga dipergunakan untuk pos-pos titik henti pegawai-pegawai dan Opas Pemerintah Belanda serta para pekerja yang mengangkut dan mendistribusikan barang-barang komoditi pada masa itu.

Selanjutnya, di samping bangunan tradisional rumah dan balai adat, terdapat bangunan tradisional lainnya di Pulau Bangka yaitu bangunan ibadah berbentuk langgar atau surau atau masjid. Berita tertulis tentang pembangunan masjid di Pulau Bangka dapat dipelajari dari data sejarah F. S. A. De clercq dalam bukunya “Bijdrage Tot De Geschiedenis van Het Eiland Bangka (Naar een Maleisch Handschrift)”, dalam Bijdragen Tot De Taal, Land, En Volkenkunde in Netherlands Indie (BKI), 1895, halaman 145 dinyatakan: “Daarom overwoog de Sultan, dat het beter was te Muntok een Temenggoeng aan te stellen, die het bestuur over Bangka zou uitoefenen ; waartoe hij een afstammeling van Wan Awang uitkoos, genaamd Abang Pang Besar. Deze werd tot Temenggoeng verheven en zijn naam veranderd in Temenggoeng Dita Menggala. Zijn rang werd gelijkgesteld aan dien der Temenggoeng's in Palembang en zijn macht kwam overeen met die van den vroegeren Rangga. Ouder hem stelde de Sultan een Penghoeloe en een Imam aan en gaf tevens vergunning tot het bouwen eener moskee te Muntok, waarvoor de houtwerken voor de helft van Palembang kwamen”. Maksudnya kira kira: 

“Karena itu Sultan menganggap lebih baik mengangkat Temenggoeng saja di Muntok yang akan memerintah Bangka; di mana dia memilih seorang keturunan Wan Awang, bernama Abang Pang Besar. Ini diangkat menjadi Temenggoeng dan berganti nama menjadi Temenggoeng Dita Menggala. Pangkatnya disamakan dengan Temenggoeng di Palembang dan kekuasaannya sama dengan Rangga. Lebih Sultan mengangkat seorang Penghoeloe dan seorang Imam kepadanya dan juga memberikan izin untuk membangun sebuah masjid di Muntok, yang setengah kayunya berasal dari Palembang. Jika ditelisik secara seksama, yang dimaksud dengan sultan di sini adalah Sultan Susuhunan Ahmad Najammudin 1 Adikusumo (memerintah Tahun 1757-1776 Masehi) yang menggantikan Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin 1 Jayowikramo (memerintah Tahun 1724-1757 Masehi). Sultan Ahmad Najammudin 1 Adikusumo mengubah jabatan wakil sultan di Bangka dari Jabatan Rangga menjadi Jabatan Tumenggung yang pangkatnya sama dengan jabatan tumenggung yang ada di Kesultanan Palembang Darussalam. Rangga Usman tampaknya sudah meninggal dunia dan Sultan kemudian mengangkat Abang Pang Besar atau Abang Pahang yang kemudian bergelar Tumenggung Dita Menggala. Masjid yang diberikan izin pembangunannya ditafsirkan sebagai Masjid Jamik Mentok sekarang yang awalnya terbuat dari kayu (dikatakan bahwa separuh atau sebagian jumlah kayunya disumbangkan oleh sultan Palembang). Sultan juga mengangkat jabatan seorang Penghulu dan Imam untuk Masjid Mentok tersebut. Jadi dapat disimpulkan, bahwa bangunan Masjid Jamik di Mentok yang berdekatan dengan kelenteng Kung Fuk Miaw dibangun lebih awal sebelum kelenteng dibangun oleh kelompok kongsi-kongsi penambangan Timah orang Cina di Pulau Bangka yang didatangkan secara resmi oleh Sultan Kesultanan Palembang Darussalam (berdasarkan angka tahun pada lonceng yang tertua Tahun 1834, dan angka Tahun1880 diduga kelenteng tersebut dibangun). Bentuk Masjid Jamik yang ada sekarang adalah bentuk masjid setelah pembangunan renovasi dari masjid kayu ke masjid yang sebagiannya menggunakan bahan batu dan pembangunan dilakukan pada 19 Muharram 1300 H  atau bertepatan pada hari Kamis, 30 November 1882 Masehi. Renovasi Masjid dilaksanakan pada masa Abang Muhammad Ali bergelar Tumenggung Kartanegara II.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan