BANGUNAN TRADISIONAL DI PULAU BANGKA (Bagian Dua)

Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

GAMBARAN data sejarah bentuk rumah dan bangunan tradisional diuraikan oleh Franz Epp dalam bukunya yang berjudul Schilderungen aus Ostinden Archipel Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1841 (masih tulisan tangan dan disertai lukisan) dan buku Schilderungen aus Hollandisch-Ostinden, Heidelberg: J.C.B. Mohr, 1852 (sudah ketikan tanpa lukisan) yang menyatakan, bahwa rumah pribumi Bangka Orang Darat atau Orang Gunung berbentuk panggung Tiga sampai Empat kaki di atas tanah, dinding ditutup dengan kulit kayu dan atap menggunakan daun Nipah. 

------------

LANTAI rumah dibuat dari kayu Nibung atau dengan batang kayu bulat. Ruangan rumah biasanya dibagi menjadi 3 bagian yaitu ruangan depan, ruangan tidur dan dapur. Selanjutnya Franz Epp menuliskan: “Die wände der vorkammer sind mit einigen hirschgeweih verziert un mit waffen. (“Dinding ruang depan rumah dihiasi dengan beberapa tanduk Rusa dan beberapa senjata”), dan pada kalimat selanjutnya ditulis: “Nicht selten Sieht man auch Saiteninstrumente in solchen wohnungen,... (“tidak jarang orang melihat juga alat musik petik senar di rumah tersebut....”) (Epp, 1852:175). 

Bentuk rumah seperti yang didiskripsikan oleh Epp tampak juga pada lukisan Het fort Toboalij, gezien vanal de lanzide, Geelhoed, JJ, 1859, Additional: Pictures of the tropics: cataloque of drawings, water-colours, paintings, and sculptures in the collection of the Royal Institute of Linguistics and Anthropology in Leiden/by J.H. Moronier.-’s-Gravenhage:Nijhoff, 1967.-p.35 Colletion Geelhoed, JJ, KITLV Digital Library. Pada lukisan Benteng Toboali tersebut tampak juga perkampungan dengan bentuk atap atau bubung rumah seperti lukisan dan diskripsi Epp. Pada lukisan tampak jelas perbedaan bangunan benteng yang menggunakan bahan batu (renovasi awal Tahun 1820 karena banyaknya semut putih/rayap yang merusak bangunan kayu) dengan Enam bubungan rumah dengan bentuk dan ketinggian yang berbeda dan dirancang untuk mengatasi angin kencang di tepian pantai serta sirkulasi udara, sementara bubungan rumah di perkampungan yang terletak di sisi Tenggara benteng untuk menghadapi terpaan angin pantai pada atap daun menggunakan kayu menyilang yang disebut tunjang angin. Perkampungan juga tampak dikelilingi oleh pagar kayu.

Perkembangan selanjutnya dari bangunan tradisional dapat dilihat pada gambar peta Kaart van het Eiland Banca Voormaals Genaam China Bata Straat Banka en een gedeelte van het Eiland Sumatera (mungkin peta dibuat saat ekspedisi Kapal Maria Rijgersbergen tahun 1803 ke Pulau Bangka yang melakukan penyelidikan apakah Bangka dan pulau pulau di sekitarnya akan dibuat keresidenan sendiri terpisah dari keresidenan Palembang), terdapat gambaran Rumah Tradisional di ibukota distrik penting di Pulau Bangka, yaitu Tooboally, Pankal Pinang, Marawang, Soongy Liat, Blinjoe, Jeboos, dengan bentuk bangunan tampak dari depan terbuat dari kayu berbentuk Panggung dengan Satu pintu dan dua jendela dengan menggunakan atap daun dan terdapat Bendera Belanda. Sementara itu untuk dibeberapa kampung besar terdapat bangunan yang sama dengan bentuk ukuran bangunan yang lebih kecil tanpa Bendera Belanda, terdapat di kampung Capoe (Kepoh), Koba, Kuppo (?), Lajang, Soongy Bouloo, Rangam, Soongy Beloe, Loomoet, Rangaw. Selanjutnya di Kota Muntok sebagai ibukota keresidenan terdapat bangunan batu berpilar dengan atap genting dan Bendera Belanda, sementara itu di Pulau Sumatera tepatnya di Kota Palembang terdapat gambar bangunan dari Kayu dengan atap daun dengan Tiga pintu berada di muka dan dilengkapi dengan Bendera Belanda. 

Selanjutnya gambaran rumah atau bangunan yang sama terdapat pada catatan Tahun 1803 Masehi, ketika 

sultan Kesultanan Palembang Darussalam Muhammad Bahauddin (masa pemerintahan Tahun 1776-1803 Masehi) digantikan oleh Raden Hasan bergelar Sultan Susuhunan Mahmud Badaruddin II (masa pemerintahan Tahun 1803-1821 Masehi) dan kekuasaan atas pulau Bangka penguasaannya diserahkan kepada Abang Muhammad Tajib bergelar Tumenggung Kerta Wijaya (anak Abang Ismail bergelar Tumenggung Kerta Menggala). Dalam Semaian 2, Carita Bangka, Het Verhaal van Bangka Tekstuitgave Met Introductie en Addenda, E.P. Wieringa, 1990, Vakgroup Talen en Culturen van Zuidoost-Azie en Oceanie Rijksuniversiteit te Leiden, halaman 119, dinyatakan:

”...Tumenggung Kerta Wijaya dan di bawahnya satu saudaranya dari Tumenggung Kerta Menggala nama Abang Muhammad Saleh diangkat serta digelar rangga citra nindiata dan anak dari datuk Kumbang bernama abang Yunus diangkat serta digelar demang wirada perana, di bawahnya satu iparnya nama abang Muhammad menjadi jurutulis”. Rumah Abang Yunus demang wirada perana sebagai salah satu bangsawan dan kepala rakyat di Mentok khususnya sebagai kepala rakyat pada kampung Pemuhun dan Patemun  masih dapat dilihat berdiri sampai saat ini walaupun sudah mengalami kerusakan yang parah terutama pada bagian belakang rumah. Bangunan terletak pada sisi Timur Benteng Kute Seribu Mentok. Kemudian bentuk bangunan yang sama dengan sedikit perbedaan pada sisi letak anak tangga dapat dilihat di Kotawaringin yaitu di Rumah Pemuka Agama Gusti Kacil. Sayangnya rumah ini sekarang sudah musnah.  Selanjutnya pada gambar tahun 1887 rede van Muntok en strand tussen Banka en Palembang, dapat dilihat bentuk bangunan yang memiliki bentuk arsitektur yang sama dengan bentuk bangunan pada peta  Kaart van het Eiland Banca Voormaals Genaam China Bata Straat Banka en een gedeelte van het Eiland Sumatera. 

Pada perkembangan selanjutnya bentuk pemukiman penduduk di pulau Bangka pada awal masuknya dominasi asing kulit putih, baik bangsa Inggris maupun bangsa Belanda, dapat dipelajari sedikit dari pemukiman penduduk pribumi Bangka orang Darat atau orang Gunung yang ada di Toboali, seperti yang didiskripsikan oleh residen Inggris untuk  Palembang dan Bangka M.H. Court. Pemukiman penduduk asli umumnya dibentuk menjadi kotak (maksudnya berbentuk bujur sangkar), rumah Batin, atau kepala, berada di pusat (maksudnya di posisi tengah), dan seluruh sisi kampung dibatasi oleh pagar atau benteng. Kampung merupakan pemukiman yang nyaman dan rapi, meskipun kecil, dan umumnya rumah mengangkat beberapa kaki dari tanah (maksudnya rumah panggung). Orang-orang kampung karena merupakan bagian dari masyarakat yang tinggal di pulau, mereka cenderung, memiliki semangat dan kemampuan untuk mempertahankan diri dari terobosan (serbuan) bajak laut (Court, 1821:203). Perkampungan dengan pola bujur sangkar dengan pemukiman mengelompok seperti penjelasan M.H. Court, biasanya menggunakan mata angin (Empat penjuru) sebagai pedoman untuk arah hadap bagian muka rumah dengan posisi rumah pemimpin sebagai titik tengah atau sentralnya.

Keadaan kampung-kampung di distrik Toboali tersebut sedikit digambarkan oleh H.M. Lange, bahwa jalan dari Koba ke Toboali dalam kondisi cukup baik dan akan lebih baik lagi, jika beberapa jembatan diperbaiki dan dapat dilalui dengan Kuda. Pada kampung Serdang yang berjarak 17 paal (1 paal =1.851,85 m) dari Toboali, rumah-rumah sebagian besar memiliki penampilan yang baik, dibangun berbentuk persegi dan besar, di tengah kampung berdiri Balai yang besar terbuat dari kayu. Sejauh ini yang terbesar yang saya lihat di Banka (pulau Bangka). Kampung ini pada Tahun 1846 Masehi sangat teratur dan makmur.  Mereka telah banyak menderita ketika kampung mereka di dekat sungai Kapo diserang kapal bajak laut (Lange, 1850:95). Tampaknya kampung Serdang, awalnya berada dekat sungai Kepoh terletak di lubuk Balaikambang, sekarang letaknya di antara Desa Serdang dan Desa Jeriji (daerah Batin Jiwad), karena diserang Bajak laut kampung Serdang kemudian dipindahkan oleh penduduknya ke lokasi kampung yang sekarang (bersambung/***)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan