BANGUNAN TRADISIONAL DI PULAU BANGKA (Bagian Satu)

Elvian--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia 

 

PERUBAHAN dan perkembangan kebudayaan pada dasarnya adalah salah satu bentuk evolusi kreatif dari manusia untuk membangun peradabannya, termasuklah dalam bentuk arsitektur rumah dan bangunan lainnya untuk kepentingan masyarakat. 

-----------------

PERKEMBANGAN bentuk dan arsitektur rumah dan bangunan lainnya di pulau Bangka minimal dapat dibagi berdasarkan masa pribumi tradisional, masa kedatangan orang China, masa kolonial Bangsa asing kulit putih, masa kemerdekaan dan masa pasca kemerdekaan. Bentuk arsitektur rumah dan bangunan lainnya pada masa-masa tersebut di atas memang agak sulit untuk digeneralisasikan, karena bentuk arsitektur yang ada sering mendapat pengaruh dari berbagai kekuasaan kerajaan-kerajaan tradisional yang pernah berpengaruh di pulau Bangka yaitu Keprabuan Majapahit, Kesultanan Johor, Minangkabau, Banten, dan Kesultanan Palembang Darussalam, selanjutnya karena terjadi kontak budaya melalui proses asimilasi dan akulturasi antar etnik group besar yang ada di pulau Bangka, seperti orang Darat, Orang Laut, Orang China dan Orang Melayu, serta yang tidak kalah pentingnya adalah pengaruh kekuasaan bangsa asing kulit putih di pulau Bangka. Secara garis besar bentuk arsitektur bangunan di pulau Bangka dapat dikelompokkan pada arsitektur Tradisional (adati) dan arsitektur Vernakular atau masyarakat biasa/kebanyakan. 

Arsitektur Tradisional (adati) adalah bentuk seni bina bangunan dan lingkungan yang berlandaskan pada aturan-aturan tertentu yang menjadi ketentuan baku atau adat serta yang sifatnya mengikat dan memaksa. Arsitektur Tradisional (Bangunan Adat) biasanya dilindungi oleh lembaga kemasyarakatan yang kuat dan berkuasa, serta diakui oleh masyarakat yaitu oleh pengurus adat atau lembaga adat yang di dalamnya terdapat pekerja adat, dan bangunan juga dilindungi oleh kepala kepala rakyat yang berkuasa yang disebut dengan pemimpin pemimpin tradisional. Pengurus atau pekerja adat  kalau di pulau Belitung disebut Penggawe Adat yang dikepalai oleh dukun kampung (J.W.H. Adam, 1927;214). Dalam pelaksanaannya kewenangan perlindungan terhadap bangunan adat atau bangunan tradisional secara sosio kultural yang paling banyak berperan adalah pengurus atau pekerja adat. Aturan adat lebih dulu ada dan berkembang di masyarakat dibanding pola pikir maupun agama, sehingga wajar jika dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, adatlah yang paling banyak memberikan warna pengaruh dan paling dipatuhi oleh masyarakat (Sjachroelsiman, 2008). Pengurus adat atau penggawe adat biasanya terdiri atas unsur yaitu dukun, gegading atau lengan, penghulu, dan pengguling. 

Bangunan arsitektur tradisonal (bangunan adat) harus dibuat oleh tukang atau perancang yang memiliki keahlian khusus yang tidak sekedar terampil dalam bangunan namun memiliki kompetensi secara kultural, sosial dan spiritual. Karenanya biasanya dipilih secara khusus oleh pengurus adat maupun ditunjuk oleh pemerintahan lokal tradisional yang disebut dengan kepala kepala rakyat. Biasanya di pulau Bangka obyek arsitekturalnya adalah bangunan-bangunan seperti tempat peribadatan, rumah bangsawan/pemimpin pemimpin tradisional dan balai adat. Dalam ketentuan hukum adat Sindang Mardika, hukum adat yang berlaku di pulau Bangka, pada Pasal 7 berbunyi: “Kepala yang tersebut di atas (maksudnya lengan, demang, gegading, batin, krio, ngabehi, depati, rangga  dan tumenggung), kalau Ia hendak membuat rumah, harus ditolong oleh anak buahnya, begitu pula membuat balai dalam kampungnya” (“Evenzoo wordt door de bevolking aan de hoofden bijstand verleend tot het bouwen hunner woningen en van het raadhuis”) (De clercq, 1895:157-163). 

Artinya untuk membangun rumah kepala kepala rakyat atau balai adat di satu negeri atau kampung harus dilakukan dengan cara atau adat tertentu dan pembangunannya harus dilakukan oleh orang yang memiliki kepandaian dan harus dibantu atau ditolong oleh penduduk di kampung tersebut, dengan cara bergiliran (mata gawe). Keberadaan balai adat di pulau Bangka dan salah satu fungsinya dapat dipelajari di samping pada Pasal Tujuh hukum Adat Sindang Mardika dapat dipelajari juga pada “Pasal Tigapuluh Tiga yang berisi tentang: “Jikalau seorang dagang atau musafir datang ke kampung yang berbalai tetapi lebih dahulu Ia naik ke rumah orang, maka didenda dari 4 sampai 6 ringgit. Terkadang yang punya rumah didenda juga sebab Ia berani menerima orang itu, sebelum pergi ke Balai, denda itu untuk kepalanya”. (“Somwijlen gebeurt het, dat de eigenaar weet dat de persoon pas gekomen en nog niet naar de raadhuis is gegaan en dan kan hij hem gerust in zijn woning ontvangen..”) . 

Sementara itu Arsitektur Vernakular (arsitektur masyarakat kebanyakan) adalah seni bina bangunan dan lingkungan yang tidak secara langsung berlandaskan pada aturan adat atau ketentuan yang khusus atau eksplisit, namun bentuk seni bangunannya tumbuh dan berkembang dengan sendirinya di tengah masyarakat. Biasanya masyarakat menyesuaikan bangunan berdasarkan kepentingan atau meniru antar satu bangunan dengan bangunan yang sama lainnya, bahkan pada taraf tertentu juga meniru arsitektur tradisional yang sudah ada terlebih dahulu, seperti rumah-rumah tradisional bangsawan atau rumah kepala kepala rakyat seperti lengan, demang, gegading, batin, krio, ngabehi, depati, rangga  dan tumenggung. Pembangunan dengan bentuk arsitektur vernakular juga dilakukan dengan ritual-ritual tertentu akan tetapi bentuk dan sifatnya sangat sederhana dan singkat. Secara umum dan mendasar perbedaan antara arsitektur tradisional (bangunan adat) dan arsitektur vernakular (bangunan kebanyakan) adalah pada penerapan ritus yang sifatnya sakral atau pseudo sakral bukan pada bentuk bangunannya. Di pulau Bangka memang agak sulit membedakan antara arsitektur tradisional dengan arsitektur vernakular karena sifat masyarakatnya yang terbuka dan dengan mudah menyerap pengaruh dan perubahan dari luar sehingga antara arsitektur tradisional dan arsitektur vernakular sering dimaknai sama.

Bentuk bangunan arsitektur Tradisional khususnya rumah dan balai tradisional serta bangunan vernakular dapat dipelajari awalnya sangat sederhana dengan arsitektur yang disebut “Kerak Nguap”, selanjutnya berkembang menggunakan konsep panggung dan bubung sebagai ciri dan identitas utamanya.  Pola pemukiman Orang Darat pribumi Bangka terdiri atas 5 hingga 10 bubung rumah di ladang padi atau ume (ladang padi disebut ume) yang mengelompok atau berhimpun kemudian berkembang membentuk kampung. Rumah di ladang atau ume merupakan karakter hunian dasar yang berakar kuat pada masyarakat Bangka yang hidup berkampung atau berhimpun dalam konsep “saling tulong” atau bekerjasama dalam kehidupan secara berkelompok. 

Saling tulong adalah salahsatu bentuk organisasi sosial tradisional masyarakat Bangka dan merupakan bentuk adaptasi terhadap ekologi hutan tropis yang terbentang sangat luas dan dalam mengatasi berbagai tantangan guna memenuhi kebutuhan hidup. Bentuk bangunan memiliki ciri-ciri; memanjang ke belakang dengan bubung atap pelana (bubung gudang) dan kanopi, terbuat dari material tumbuhan Rumbia, Nipah atau Nangak dan didinding menggunakan kulit kayu, lantai terbuat dari kayu (jerejak) atau pelepah Nibung dan Ibul, berbentuk panggung dengan tinggi sekitar 50-150 cm, terdiri zona bangunan muka dengan pintu dan dua jendela di sisi depan dan dapur di bagian belakang yang berdiri di atas tanah lebih rendah dari bangunan muka dan terdapat tangga kayu berjumlah ganjil di muka rumah. Pada bagian bawah panggung rumah biasanya digunakan untuk menyimpan peralatan kerja. Salahsatu masyarakat pribumi Bangka Orang darat yang masih menempati rumah tradisional sebagai tempat tinggal yaitu  Orang Mapur yang tinggal tersisa di wilayah Benak. Panggung rumah, dibuat berbentuk bujur sangkar dengan ukuran sekitar 5×5 meter, dengan tinggi sekitar 1,5 meter, semuanya terbuat dari bahan kayu yang diikat dengan bilah Rotan. Lantai terbuat dari pohon Ibul atau pohon Nibung yang dibelah dan dijalin dengan menggunakan bilah Rotan tunggal. 

Dinding menggunakan kulit pohon kayu jenis Kelukop dan atap menggunakan daun pohon Nipah atau daun pohon Rumbia dengan bagian depan dan belakang menggunakan bentuk rabung melengkung yang sekaligus berfungsi sebagai semacam pet rumah agar pada bagian anak tangga (5 anak tangga) tidak basah kena hujan. Rumah terdiri dari dua pintu pada bagian muka dan belakang dengan ukuran yang sama dan dalam posisi sepias, dan terdapat dua jendela yang disebut tingkep dengan cara membuka ke arah bawah. Pada bagian dalam rumah terdapat tungku terbuat dari tanah yang berfungsi untuk memasak, kemudian terdapat pepare atau pare aleng yang berfungsi untuk menyimpan peralatan tidur dan pada sisi samping dinding terdapat pare sending yang berfungsi untuk menyimpan peralatan serta perabotan rumah tangga. Rumah terdiri dari 2 jenis yang disebut dengan marung Mak dan marung Nduk (Bersambung/***).

 

Tag
Share