Pangkalpinang Pangkal Kemenangan Pada Awal Ramadhan
Elvian--
Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP
Sejarawan dan Budayawan
Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia
BANYAK peristiwa sejarah penting dan besar (great historical event) di dunia yang memutar balik arah jarum perubahan yang terjadi dalam Bulan Suci Ramadhan, termasuklah peristiwa sejarah yang terjadi di Pulau Bangka.
------------------
PERISTIWA penyerahan bantuan uang sebesar f.90.170,18 untuk pembangunan Ibukota Yogyakarta dan kembalinya Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia, Sukarno-Hatta beserta pemimpin republik yang diasingkan di Bangka ke ibukota Yogyakarta terjadi pada tanggal 5 dan 6 Juli 1949, bertepatan dengan tanggal 8 dan 9 Ramadhan 1368 Hijriah. Seloka yang menggelorakan dan menggetarkan semangat disampaikan Proklamator Bung Karno tanggal 9 ramadhan 1368 Hijriah: “Dari Pangkalpinang, Pangkal Kemenangan Bagi Perjuangan”, diucapkan pada pidato perpisahan dihadapan sekitar 3000 rakyat Bangka di halaman Balai Gemeente (Haminte) Pangkalpinang (Jalan Balai). Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kemudian memperoleh kemenangan, diawali dari pengasingan di Bangka (datang dari Yogyakarta ke Pangkalpinang dan berjuang 197 hari di Bangka, kemudian kembali dari Pangkalpinang ke Yogyakarta) dengan meraih kemenangan. Kembalinya ke Yogyakarta adalah pada bulan suci Ramadhan yaitu bulan yang oleh umat Islam disebut “bulan kemenangan”. Pemerintah Kota Pangkalpinang dalam Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Lambang Daerah telah menetapkan seloka “Pangkalpinang Pangkal Kemenangan” diletakkan pada pita hiraldis Lambang Daerah dengan warna keemasan. Pangkal Kemenangan mengandung makna filosofis dimensi waktu yaitu masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dan multi dimensi makna kemenangan bagi Kota Pangkalpinang. Setelah pengasingan di Bangka tidak ada lagi pengasingan bagi pemimpin republik dan Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah melalui beberapa perundingan kemudian merdeka seutuhnya.
Perjuangan yang dilakukan oleh bangsa Indonesia Priode setelah Agresi Militer Belanda Kedua dilakukan melalui tekanan-tekanan militer oleh TNI di Jawa dan Sumatera terhadap Belanda dan beberapa kali perundingan atau diplomasi di United Nations dan di Bangka antara Kelompok Bangka atau “Trace Bangka” dan Delegasi Indonesia dengan Belanda dan BFO yang dimediasi oleh Good Office Committee (Komisi Jasa Baik sering disebut KTN atau Komisi Tiga Negara) maupun oleh Komisi Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia) atau UNCI yang awalnya sedikit mengabaikan keberadaan PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia dan TNI (Tentara Nasional Indonesia), kemudian lahirlah “Roem-Royen Statement” di Jakarta pada Tanggal 7 Mei 1949. Hasil perundingan Roem-Royen yang disetujui pada Tanggal 7 Mei 1949 yang dikenal dengan Roem-Royen Statements berisi sebagai berikut: Delegasi Indonesia menyetujui kesediaan Pemerintah Indonesia untuk: 1). mengeluarkan perintah kepada “pengikut Republik yang bersenjata” untuk menghentikan perang gerilya; 2). bekerjasama dalam mengembalikan perdamaian dan menjaga ketertiban dan keamanan; 3). turut serta dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat. Pernyataan Belanda pada pokoknya berisi: 1). menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta; 2). menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik; 3). tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia sebelum 19 Desember 1948, dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik; 4). menyetujui adanya Republik Indonesia sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat; dan 5). berusaha dengan sesungguh-sungguhnya supaya KMB segera diadakan sesudah Pemerintah Republik kembali ke Yogyakarta.
Selanjutnya sebagai pelaksanaan butir pertama dari isi perjanjian Roem-Royen yang menyetujui kembalinya Pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta; maka pada Tanggal 6 Juli 1949 Presiden dan Wakil Presiden beserta beberapa pemimpin republik berangkat dan dilepas dengan keharuan oleh rakyat Bangka dan kedatangan Presiden, Wakil Presiden, beserta rombongan mendapat sambutan yang hangat dari rakyat Yogya. Mulai dari Lapangan Udara Maguwo sampai di istana negara, jalan-jalan telah penuh sesak dengan rakyat yang menyambut kedatangan mereka. Bukan hanya di jalan-jalan saja, bahkan di atas genteng rumah, di atas pohon-pohon pun rakyat berdiri menantikan kedatangan Presiden, Wakil Presiden, dan para pemimpin lainnya yang sangat mereka cintai (SESKOAD, 1991:313, 316).
Empat hari kemudian, pada Tanggal 10 Juli 1949, Panglima Besar Jenderal Sudirman setelah selama Tujuh bulan bergerilya dengan ditandu, kembali memasuki Kota Yogyakarta. Pertemuan antara Panglima Besar Jenderal Sudirman dengan Presiden Sukarno berlangsung dalam suasana sukacita yang dalam dan pelukan hangat dari kedua pemimpin besar bangsa ini. Selanjutnya untuk menyelesaikan keabsahan hasil perundingan Roem-Royen, pada Tanggal 13 Juli 1949, di Jakarta diadakan pertemuan antara pemimpin-pemimpin kelompok Bangka dengan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Hasil perundingan bahwa PDRI menyerahkan keputusan mengenai isi perjanjian Roem-Royen kepada Keputusan Kabinet, Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) dan kepada pimpinan angkatan perang. Pada tanggal yang sama Mr. Sjafruddin Prawiranegara menyerahkan kembali mandatnya kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.
Dalam rangka menyelesaikan berbagai perbedaan pandangan dan untuk menyatukan pendapat agar Bangsa Indonesia siap untuk berunding dengan Belanda dalam konferensi yang akan dilaksanakan di Negeri Belanda, maka pada Tanggal 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan kemudian pada Tanggal 31 Juli sampai Tanggal 2 Agustus 1949 di Jakarta diadakan Konferensi Inter-Indonesia yang dihadiri oleh wakil-wakil Republik Indonesia dan pemimpin-pemimpin BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) atau Badan Permusyawaratan Federal.
Salah satu keputusan penting yang diambil dalam Konferensi Inter Indonesia adalah, bahwa BFO menyokong tuntutan Republik Indonesia atas penyerahan kedaulatan tanpa ikatan-ikatan politik ataupun ekonomi. Sesudah berhasil menyelesaikan masalahnya sendiri secara musyawarah di dalam Konferensi Inter-Indonesia, Bangsa Indonesia secara keseluruhan telah siap menghadapi Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dimulai pada Tanggal 23 Agustus sampai Tanggal 2 November 1949 di Den Haag negeri Belanda. Konferensi Inter-Indonesia dapat dilaksanakan karena sebelumnya telah ada pertemuan pendahuluan antara tokoh BFO, Anak Agung Gde Agung dengan para pemimpin Republik saat pengasingan di pulau Bangka, pada Tanggal 3 Maret 1949. Di pulau Bangka ini pula awal terjadinya pendekatan dan dukungan pihak BFO kepada Republik. Menurut Kahin, dalam Nationalism and Revolution in Indonesia (1972) kunjungan utusan BFO ke Bangka melihat optimisme pemimpin Republik akan kemenangan yang segera diraihnya. Anak Agung Gde Agung dari BFO berpendapat bahwa kesediaan pemimpin Republik di Bangka mau berunding akan timbul suatu dialog antara Indonesia (Indonesische gesprekt). Langkah itulah yang mendorong terlaksananya Konferensi Antar Indonesia bulan Juli di Yogya dan Agustus di Jakarta 1949 (Zuhdi, 2014:534).
Upaya Pemerintah Belanda membentuk Negara Republik Indonesia Serikat (RIS) berhasil dilaksanakan dengan ditandatanganinya piagam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Tanggal 14 Desember 1949 dan berdasarkan konstitusi ini kemudian negara berbentuk federasi dan meliputi seluruh daerah Indonesia yaitu daerah bersama meliputi daerah-daerah seperti Jawa Tengah, Bangka, Belitung, Riau, Daerah Istimewa Kalimantan Barat, Dayak Besar, Daerah Banjar, Kalimantan Tenggara dan Kalimantan Timur. Daerah yang disebutkan di atas merupakan satuan-satuan kenegaraan yang tegak sendiri di samping Negara Republik Indonesia, kemudian negara-negara Federal bentukan Belanda serta daerah-daerah Indonesia selebihnya yang bukan daerah-daerah bagian. Upacara penandatanganan piagam Konstitusi RIS dilaksanakan di Pegangsaan Timur 56 Jakarta oleh wakil-wakil dari negara/daerah yang akan menjadi bagian dari Republik Indonesia Serikat, untuk daerah Bangka, piagam ditandatangani oleh Mohammad Jusuf Rasidi dan daerah Belitung ditandatangani oleh K.A. Mohammad Jusuf. Setelah ditandatanganinya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) pada Tanggal 14 Desember 1949 dan berdasarkan konstitusi ini secara resmi negara berbentuk federasi. Republik Indonesia merupakan negara bagian Republik Indonesia Serikat dengan populasi penduduk yang terbanyak, yakni berpenduduk lebih dari 31 juta jiwa (Kahin, 2013:625-626).
Bila diingat pernyataan Bung Karno ketika diasingkan di Bangka: “Bung Karno berjanji bahwa “merdeka” akan datang sebelum matahari terbit di Tahun 1950”. Pengakuan kedaulatan atau Souvereniteit overdracht atas Republik Indonesia pada Tanggal 27 Desember 1949 saat Konferensi Meja Bundar di Belanda merupakan pengakuan de jure oleh pemerintah Belanda atas Republik Indonesia yang secara de facto telah memproklamasikan kemerdekaannya pada Tanggal 17 Agustus 1945. Dengan pengakuan kedaulatan Belanda atas Republik Indonesia, maka konsep unsur-unsur negara telah dipenuhi oleh Negara Republik Indonesia. Pengakuan kedaulatan terhadap Republik Indonesia oleh pemerintah Belanda pada Tanggal 27 Desember 1949, berimplikasi pada perubahan bentuk negara sesuai dengan UUD 1945. Bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) diubah menjadi Negara Federasi yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan kemudian negara berdasarkan kepada Konstitusi RIS. Bangka dan Belitung berdasarkan konstitusi RIS, merupakan salah satu bagian dari Negara Republik Indonesia Serikat bukan berbentuk Neo-Zelfbestuur, tetapi berbentuk zelfstanding staatkundig eenheid, yaitu merupakan Satuan Kenegaraan yang Tegak Berdiri Sendiri, terpisah dari Republik Indonesia (RI).