Puasa, Integritas & Ustadz Panggung
Ahmadi Sopyan--
Oleh : AHMADI SOFYAN
Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
INTEGRITAS itu wajib adalah diri manusia agar disebut manusia. Tapi banyak orang yang berprofesi "Tukang Ceramah" malah jauh dari integritas. Keseringan ceramah, lupa jaga integritas...
====
SEMUA jenis ibadah didalam agama Islam pasti memiliki nilai, pendidikan dan makna positif bagi perjalanan hidup yang menjalankannya, baik jasmani terlebih rohani. Sholat misalnya selain setiap gerakannya untuk kesehatan, ia bernilai filosofi tinggi bagi kehidupan. Misalnya bagaimana organ tubuh yang paling mulia bernama kepala harus sejajar dengan mata kaki kala sujud kepada Sang Khalik.
Pun demikian dengan wudhu, sedekah, zakat, sahur, haji, membaca Qur'an, menikah dan puasa. Demikian juga sebaliknya, akan terjadi hal buruk pada jasmani dan rohani dari setiap apa yang dilarang oleh agama (Islam) seperti: minuman keras, zina, membunuh, arogan, sombong, menipu, riba, mengurangi timbangan, bohong dan sebagainya. Dengan integritas diri, maka kualitas kehidupan kita bisa dinilai.
Setiap manusia tidak lepas dari integritas. Integritas adalah hal yang sangat melekat dalam hidup setiap manusia. Integritas dibutuhkan ketika kita berinteraksi dengan keluarga, rekan kerja bahkan dengan orang yang tidak kita kenal.
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan atau kejujuran. Integritas itu juga adalah wujud keutuhan prinsip moral dan etika bangsa dalam kehidupan bernegara.
Dari sekian ibadah, Puasa adalah ibadah yang menurut saya sangat menarik dan jenis ibadah yang sangat melatih integritas makhluk bernama manusia (muslim). Integritas adalah nilai diri manusia.
Mengapa demikian? Sebab Puasa adalah ibadah yang benar-benar membutuhkan kejujuran maksimal. Sebab ibadah Puasa sangat memungkinkan untuk kita mengakui puasa padahal tidak , sangat mungkin berbohong dan berpura-pura ibadah (puasa). Kalau berpura-pura sholat, pasti tak mudah, berpura-pura haji mau kemana dan berapa modal yang harus dikeluarkan, berpura-pura sedekah gak bisa, berpura-pura syahadat akan ketahuan, berpura-pura puasa siapa yang tahu?
Puasa sangat erat dengan kejujuran pelakunya. Ibadah yang benar-benar membutuhkan kejujuran diri pelakunya, integritas pelaku ibadah benar-benar sangat diuji. Bahkan sampai Kiamat nanti kita umat Islam sebagai pelaku ibadah puasa tidak diberitahu ganjaran pahalanya dari Allah SWT. Sedangkan ibadah-ibadah yang lain, selalu disebutkan ganjaran pahalanya, tapi tidak dengan puasa. Artinya, Allah SWT benar-benar Maha Asyik dalam memberikan pendidikan ibadah puasa ini kepada hamba-Nya.
Ramadhan adalah 1 bulan dimana Allah SWT memberikan kesempatan yang Maha Asyik, Maha Dahsyat dalam mendidik kembali agar kita memiliki integritas dalam menjalani kehidupan. Sebab Tuhan tahu betul bahwa banyak sekali hamba-hamba-Nya adalah manusia-manusia yang tak berintegritas dalam menjalani kehidupan. Bahkan tak sedikit yang mengaku-aku paling agamis sekalipun.
Dari integritas puasa, kita belajar bahwa seseorang bisa disebut memiliki integritas adalah antara ucapan (tulisan) dan perilaku kehidupan seirama dan sejalan, saat sendiri maupun saat didepan orang banyak, memiliki nilai diri yang sama, saat bicara terlebih diam, dia bernilai. Saat dimedia sosial maupun di alam nyata, dirinya adalah dirinya. Kesederhaannnya adalah kemewahan, pakaiannya adalah keagungan diri bukan gamis mewah menuai puji. Kopiah putih dianggap paling suci dan antum, akhi, qohwah, harim, kaifa dan sebagainya dianggap integritas keislaman paling kaafah. Salah kaprah dalam logika beragama membuat sesat dalam tindakan beragama itu sendiri. Kedunguan sosial kerapkali melanda orang-orang yang menganggap penjaga benteng bernama agama dan merasa paling agamis. Seakan-akan memiliki SK langsung dari Tuhan sebagai "centeng" Tuhan.
Integritas itu tak butuh pengakuan apalagi harus diakui-akui. Seorang ustadz gak melalu dipanggil ustadz dan harus dihormati. Mau ustadz atau tidak, belajar dan mengajar agama adalah kebaikan diri bukan popularitas diri. Kalau ada ustadz yang masih mencari popularitas diri, percayalah itu bajingan berjubah ustadz. Banyak betebaran bajingan berjubah ustadz saat ini di negeri kita. Popularitas, Harta bahkan tahta menjadi Tuhan terbaik yang diagungkan. Makanya sulit banget bagi saya bisa "akur" atau harmoni dengan ustadz-ustadz panggung, sebab hati selalu menolak berdekatan. Tapi guru-guru agama berkain sarung kusam, badan ringkih, entah mengapa saya sering bersimpuh merasa kecil didepan mereka. Artinya saya menemukan ustadz atau guru yang punya integritas tanpa mereka mungkin tahu bahasa integritas itu sendiri.