Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Timah Bangka Belitung : Antara Devisa dan Derita

Nadira Assyifa Putri-Dok Pribadi-

Pernahkah kita bertanya, berapa sebenarnya harga timah yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi Bangka Belitung? Apakah nilainya begitu tinggi hingga kerusakan tanah, laut, serta ruang hidup masyarakat seolah menjadi konsekuensi yang harus diterima? Pertanyaan ini penting diajukan ketika kondisi di lapangan justru kerap dibungkus narasi kemajuan yang tidak selalu sejalan dengan kenyataan.

Oleh Nadira Assyifa Putri (Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Bangka Belitung)

Lubang-lubang tambang sering disebut peluang ekonomi. Air keruh dianggap hal biasa. Suara mesin perlahan menenggelamkan keberatan warga yang tak selalu mendapat tempat. Padahal setiap hektare tanah yang terkoyak menyimpan kisah yang lebih rumit daripada grafik ekspor: nelayan yang kehilangan daerah tangkap, petani yang kehilangan lahan, hingga anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang berubah sangat cepat.

Industri timah sudah lama menjadi penopang ekonomi daerah. Banyak keluarga bertumpu pada sektor ini, baik melalui perusahaan resmi maupun tambang rakyat. Namun di balik pemasukan yang tercatat, jejak kerusakan ekologis sulit diingkari. Hutan yang hilang, pesisir yang rusak, hingga kolong-kolong besar yang dibiarkan menganga menjadi bukti bahwa kekayaan alam tak selalu kembali dalam bentuk kesejahteraan.

Persoalannya bukan hanya keberadaan tambang, tetapi tata kelola. Pengawasan yang lemah membuat reklamasi sering hadir hanya sebagai syarat administrasi, bukan kewajiban nyata. Tambang ilegal tumbuh tanpa kendali, menciptakan kerusakan yang tak lagi mudah dihitung. 

Padahal undang-undang memberi batas sangat jelas. UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara menegaskan bahwa setiap kegiatan penambangan wajib memiliki izin yang sah. Pasal 158 bahkan mengatur ancaman pidana bagi penambangan tanpa izin, dengan hukuman 5 tahun penjara dan denda hingga Rp100 miliar.

Di sisi lingkungan, aturan lebih tegas lagi. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mewajibkan kegiatan pertambangan untuk memastikan tidak menimbulkan pencemaran dan kerusakan. 

Pasal 69 melarang kegiatan yang mengubah kawasan tanpa izin lingkungan, sementara Pasal 53 hingga 56 menegaskan pentingnya pemulihan dan reklamasi sebagai tanggung jawab hukum, bukan sekadar formalitas. Namun di lapangan, kewajiban ini belum selalu berjalan searah dengan kenyataan.

Di tengah kondisi tersebut, publik berhak mempertanyakan arah kebijakan pemerintah. Hilirisasi dan peningkatan nilai tambah memang penting, namun tidak boleh mengorbankan keselamatan lingkungan dan masyarakat. Kebijakan yang dibangun harus menjaga keseimbangan: industrialisasi boleh berjalan, tetapi ruang hidup warga tidak boleh menjadi korban sampingan.

Konflik sosial pun sulit dihindari. Ketergantungan warga pada tambang membuat mereka berada dalam posisi serba dilematik: tambang memberi pendapatan, namun di saat yang sama merusak tempat tinggal mereka. Ketimpangan manfaat, minimnya kepastian ekonomi, dan kurangnya ruang dialog membuat ketegangan di akar rumput semakin terasa.

Sudah waktunya pemerintah pusat dan daerah memperkuat tata kelola pertambangan. Evaluasi izin harus dilakukan berkala, pengawasan diperketat, dan pelanggaran ditindak tanpa pandang bulu. Reklamasi wajib dipastikan berjalan sebagaimana diatur dalam UU Minerba dan aturan turunannya seperti PP Nomor 96 Tahun 2021, yang menegaskan kewajiban pemegang IUP untuk memulihkan lahan pascatambang. Operasi ilegal tidak boleh dibiarkan menjadi bayangan gelap yang terus membesar tanpa lawan.

Dalam jangka panjang, Bangka Belitung perlu berani menata ulang fondasi ekonominya. Ketergantungan pada satu komoditas membuat daerah rapuh, baik secara sosial maupun ekologis. Pengembangan sektor pariwisata berkelanjutan, perikanan, pertanian modern, hingga ekonomi kreatif adalah langkah penting agar masa depan daerah tidak terus bergantung pada seberapa banyak timah yang dikeruk.

Karena pada akhirnya, kekayaan alam bukan hanya soal devisa. Ini soal keberlanjutan, keadilan, dan keberanian menjaga tanah yang kita tinggali. Jika kerusakan terus dibiarkan, yang tersisa hanya pertanyaan: berapa lagi harga yang harus dibayar untuk sebuah kekayaan?

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan