Penyiar Radio Lokal: Wajah Humanis Pemerintah Daerah
Abu Bakar-Dok Pribadi-
Oleh Abu Bakar, S.I.Kom.
Pemerhati Komunikasi Publik dan Media
Malam itu, di sebuah studio radio lokal di Pangkalpinang, penyiar yang dikenal luas dengan nama udara “Bujang Kudul” tengah bersiap mengudara. Tema siarannya “Bekas Kolong Timah, Dijadikan Apa Biar Bermanfaat bagi Warga?” barangkali terdengar teknis bagi sebagian orang. Namun di tangan seorang penyiar yang memahami denyut pendengarnya, topik yang berat dapat berubah menjadi percakapan hangat layaknya obrolan di warung kopi.
Itulah kekuatan radio publik lokal. Telepon yang masuk tidak berhenti: dari Belinyu, Lubuk besar, Kelapa, Ranggung, hingga Lampur. Suara warga dari beragam latar belakang saling menimpali, berbagi pandangan, dan menyatukan kegelisahan yang sama tentang masa depan pasca timah. Di ruang kecil itu, kita melihat bahwa komunikasi publik bukan hanya persoalan menyampaikan pesan, tetapi menghadirkan ruang partisipasi.
Bujang Kudul menunjukkan bagaimana edukasi tentang lingkungan dan perubahan iklim dapat dibawakan secara ringan tanpa kehilangan kedalaman. Mengedukasi 1,55 juta warga Bangka Belitung tentu bukan perkara mudah. Namun penyiar radio seperti dirinya mampu menjangkau sisi paling dasar dari proses edukasi: membangun kedekatan dan rasa percaya. Di balik kesederhanaan suaranya, tersimpan kesadaran bahwa ia adalah bagian dari pelayanan publik dengan menjaga nama baik lembaga sambil merawat hubungan dengan warga.
Kisah ini memberi gambaran jelas tentang bagaimana core value ASN sesungguhnya diterapkan. Penyiar radio yang bertugas di Lembaga Penyiaran Publik Lokal (LPPL) di daerah sering mengambil peran yang tidak selalu tercatat dalam dokumen formal: mereka aktif mendengarkan kebutuhan warga, menjembatani keluhan, dan menampilkan wajah pemerintah yang lebih ramah, hadir, dan dapat diandalkan. Di saat masyarakat membutuhkan arah di tengah perubahan zaman, peran semacam ini semakin relevan.
Di era digital, ruang kontribusi mereka bahkan lebih luas. Teori komunikasi yang dikemukakan Everett Rogers dan Shoemaker menempatkan sosok seperti Bujang Kudul sebagai opinion leader: individu yang dipercaya untuk mempengaruhi pemikiran masyarakat. Dengan kedekatan yang telah mereka bangun bertahun-tahun, para penyiar radio memiliki kemampuan untuk menjelaskan kebijakan pembangunan mulai dari ekonomi biru, hilirisasi timah, transformasi pertanian, hingga program kesehatan dan pendidikan dengan bahasa yang membumi dan mudah dipahami.
Keunggulan mereka terletak pada keaslian. Konten yang mereka hasilkan, baik dalam bentuk siaran, video pendek, maupun cerita keseharian, memuat kedalaman interaksi yang jarang dimiliki kreator konten masa kini. Mereka tidak perlu mencari gagasan yang rumit; potret kehidupan para pendengar sudah menjadi sumber cerita yang kaya. Dari sanalah lahir konten yang relevan, humanis, dan dekat dengan realitas warga.