Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Belum Berkuku Hendak Menggaruk

Ahmadi Sopyan-screnshot-

Oleh : AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

   

KITA hidup di zaman banyak mulut berteriak persatuan dan kesatuan tapi tangannya merobohkan pilar keadilan. Pidato hidup tenang, damai dan harmonis, tapi tindakan dan kenyataan yang diberikan adalah menggerogoti kebhennikaan.

 --------------------

“BELUM berkuku hendak mencubit” atau “belum berkuku hendak menggaruk”, begitulah sindiran Melayu dari para orangtua masa silam jika melihat sesuatu diluar kewajaran, yakni belum menjadi apa-apa tapi sudah seperti apa-apa. Belum menjabat sudah bersikap dan bergaya pejabat, sbelum berkuasa tapi sudah ingin menguasai, belum menjadi pendekar sudah menantang, belum memiliki wewenang sudah mencari kesalahan orang lain. Intinya belum jadi apa-apa sudah ingin menjadikan orang lain korban.

Sindiran berupa tutur halus Melayu dari para orangtua dulu tidak bisa kita remehkan, karena ia bukan sekedar kearifan lokal, tapi ia lahir dari fenomena kehidupan dan lahir dari kejujuran serta kejernihan hati. Hingga saat ini, hampir seluruh tutur lisan para orangtua dulu masih sangat relevan dalam kehidupan kita masa kini.

Dalam berbagai fenomena kehidupan, baik dalam dunia kerja, sosial terlebih lagi politik kekuasaan, seringkali kita saksikan ada kelompok yang belum apa-apa sudah merasa menjadi apa-apa. Mencari kesalahan, mengumbar aib, menyebar fitnah bahkan menghakimi satu sama lain sudah seperti sebuah pekerjaan. Ditambah lagi dengan kemudahan teknologi komunikasi seperti zaman sekarang ini. Bertebaran berbagai berita hoax yang sengaja diciptakan guna memperkeruh suasana dan menggerogoti persatuan dan kesatuan anak bangsa.

Kita hidup di zaman modern seperti ini seringkali berteriak persatuan dan kesatuan tapi merobohkan pilar keadilan. Slogannya senyum tapi perilakunya “merteng”. Berharap hidup tenang, damai dan harmonis, tapi tindakan dan kenyataan yang kita berikan adalah menggerogoti kebhennikaan atau sekedar kelompok. Seringkali kita saksikan pemikiran keliru yang tersistematis dan yang terparah banyak generasi muda kita yang tak bisa melepaskan dari pemikiran keliru. Bahkan ada sebagian justru memperjuangkan pikiran keliru untuk dicari pembenarannya.

Inilah yang membedakan kita dengan kehidupan orangtua masa silam. Para orangtua kita dulu adalah orangtua sekaligus guru kehidupan. Tak mengenyam pendidikan tinggi, tak pula memiliki titel didepan maupun dibelakang namanya, pengetahuan yang dimiliki didapatkan dari kejernihan dan kejujuran serta berhubungan dengan akhlak. Mayoritas mereka buta teori sastra dan bahkan buta aksara, namun sangat paham makna dan menyelami serta menjadikan teladadn dari setiap kata dalam kehidupan.

Para orangtua kita dulu memiliki kedewasaan yang berbuah kebijaksanaan dalam perilaku sehari-hari. Orang tua kita dulu tak sekolah, tapi berperilaku pendidik, tak banyak bicara, tapi memberikan teladan dalam kehidupan nyata. Bahkan mereka tak banyak maunya karena begitu perasa. Mereka lebih pintar merasa bukan merasa pintar atau bisa merasa bukan merasa bisa.

Petuah-petuah orangtua begitu berisi dan penuh makna dalam kehidupan, seperti jauh berbeda dengan petuah-petuah orang pintar di era modern seperti sekarang ini. Karena petuah yang mereka sampaikan dari bibirnya adalah kata hati mereka sendiri, bukan sekedar mengumbar atau mengutip rangkaian kata-kata indah bak sastrawan atau budayawan kenamaan. 

Para orangtua kita dulu tidak pintar secara akademisi, namun mereka mengajar sekaligus mendidik diri, anak dan cucu serta lingkungannya di balik kelembutannya dalam kata dan sindirian yang terungkap secara lisan. Orangtua kita dulu di kampung-kampung adalah manusia bijaksana yang perilaku dan ucapannya penuh dengan makna dan nilai-nilai kehidupan. 

***

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan