Sumpah Sampah (Refleksi Hari Sumpah Pemuda ke-97)
Ahmadi Sopyan-screnshot-
Oleh: AHMADI SOFYAN
Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya
SERIBU sumpah sejuta serapah tak akan membuat negeri ini langsung berubah tanpa kita memulai untuk melangkah. Seribu sumpah sejuta serapah bertebaran bak sampah akibat tak sedikit dari kita termakan sumpah.
----------
BULAN Oktober, merupakan bulan sumpah yang paling penting yakni SUMPAH PEMUDA yang tercetus pada Kongres Pemuda II di Jakarta pada tanggal 28 Oktober 1928. Di Bangka Belitung, peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-97 kali ini diperingati sangat meriah, sayangnya kemerihan hanya di media sosial sekedar ucapan Selamat Hari Sumpah Pemuda. Sebab kemeriahan itulah saya tidak jadi ikut-ikutan mengucapkannya, tapi justru pagi-pagi sekali saya ke Pulau Lepar di Bangka Selatan, duduk dan bekisah bersama masyarakat petani dan nelayan. Malam hari saya menyeberang dengan perahu guna pulang ke Pangkalpinang.
***
97 TAHUN silam, namun makna yang mendalam dari ikrar Sumpah Pemuda nampaknya bukan sekedar spirit persatuan berbangsa dan bernegara, tapi juga kian relevan untuk kita maknai lebih mendalam ditengah maraknya sumpah serapah jalanan hingga sumpah jabatan yang menjadi sampah.Dari jalanan hingga arena persidangan dan panggung politik, kalimat-kalimat bernada sumpah seakan menguatkan sebuah pengakuan.
Karena sekarang ini, hampir setiap hari ada ucapan sumpah. Entah itu sumpah jabatan, sumpah politik, sumpah cinta dua orang anak manusia, sumpah kesaksian di pengadilan, sumpah Mubahalah (kutukan), sumpah orangtua hingga sumpah serapah di jalanan, terutama ditengah kemacetan dan demonstran di Ibukota Jakarta yang kian menjadi, bahkan merambah ke Solo dimana mantan Presiden ke-7 RI, Joko Widodo mengisi masa pensiunnya.
Makna sumpah pada awal pendirian bangsa dimaksudkan sebagai penyemangat dan ikrar bersama untuk berjuang dan mempersatukan negeri ini.Sumpah Pemuda memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan anak muda dalam membangun bangsa. Namun kini berbagai sumpah tak lebih sebagai tameng untuk melindungi diri dari kenyataan atau sekedar lips service only atau pemanis bibir saja disaat pelantikan.
Tentu masih sangat segar dalam ingatan kita bagaimana semaraknya sumpah yang berseliweran dalam Pemilu, Pilkada, bahkan Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Makna sumpah yang begitu sakral karena bisa menyangkut semua elemen makhluk dan Tuhan, yakni antar manusia (pengucap sumpah) dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan. Namun nyata kian hari harga sebuah sumpah kian murah saat kepentingan politik dan kekuasaan yang berbicara. Harga sebuah sumpah kian tak berharga ketika sumpah berseliweran bak sampah yang mengotori map-map pelantikan sebuah jabatan. Karena ketika pelantikan usai, sumpah tak lagi berarti bahkan secuil kalimat sumpah tak perlu untuk diingat apalagi untuk diikuti.
Sumpah pada awalnya adalah kata-kata sakral yang menakutkan untuk meyakinkan sebuah kebenaran. Karena tidak semua orang yang berani bahkan harus berpikir panjang untuk melakukan pengucapan sumpah. Sumpah juga bermakna kesetiaan sebagaimana sumpah kita dalam ijab qabul di depan penghulu. Sumpah juga bagian yang begitu melekat dalam prosesi pelantikan pejabat-pejabat negara agar setia menjadi pelayan rakyat dan tidak melakukan hal-hal yang merugikan negara atau rakyat apalagi menerima sesuatu yang bukan hak-nya. Sekali lagi sampai hari ini yang demikian itu hanya prosesi formalitas saja yang tak melekat dalam pribadi pengucapnya.
Bahkan Presiden, Wakil Presiden dan puluhan 34 Menteri-nya plus Wakil Menteri demikian adanya. Sumpah-sumpah seperti ini terus kita nantikan kesaktiannya walaupun kita sudah sangat menyadari bahwa menunggunya bagaikan pungguk merindukan bulan yang tak kian datang ke pangkuan.
***