Tetap Muslim, Tetap Modern
Rozi.-Dok Pribadi-
Oleh: Rozi, S.Sos., M.A.,
Dosen Agama di Universitas Bangka Belitung
ISLAM dan modernisasi sering kali dianggap sebagai dua hal yang saling bertolak belakang. Modernisasi seakan hadir membawa arus baru yang serba canggih, serba cepat, dan penuh dengan kebaruan, sementara Islam dipandang oleh sebagian orang sebagai warisan masa lalu yang kerap dikaitkan dengan tradisi dan konservatisme. Namun, bagi saya pribadi, pandangan seperti itu terlalu sempit. Islam bukan agama yang kaku dan statis, melainkan agama yang hidup, dinamis, dan selalu bisa menjawab tantangan zaman, termasuk tantangan modernisasi yang kita hadapi hari ini.
Jika kita menengok sejarah, sebenarnya umat Islam pernah berada di garis depan modernisasi peradaban. Pada masa keemasan Islam, kota Baghdad, Kairo, dan Andalusia menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia. Dari kota-kota itu lahir ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, Al-Farabi, dan banyak lagi. Mereka bukan hanya ahli agama, melainkan juga pemikir, dokter, ahli matematika, filsuf, dan astronom. Apa yang mereka lakukan adalah contoh nyata bahwa Islam tidak pernah menolak modernisasi, justru Islam menjadi fondasi bagi berkembangnya ilmu pengetahuan.
Al-Qur’an berulang kali mengajak manusia untuk berpikir, meneliti, dan menggali hikmah dari ciptaan Allah. Semangat itulah yang dulu melahirkan kemajuan peradaban. Artinya, jika hari ini kita merasa modernisasi adalah ancaman, mungkin masalahnya bukan pada Islam, melainkan pada bagaimana umat Islam memosisikan diri.
Modernisasi di zaman sekarang hadir dalam bentuk yang lebih kompleks. Kehadiran teknologi digital dan media sosial misalnya, membawa kemudahan yang luar biasa. Kajian agama bisa diakses dari rumah, ceramah bisa ditonton jutaan orang di YouTube, dan dakwah bisa viral hanya dengan satu potongan video pendek.
Di Indonesia kita melihat betapa cepatnya tren kajian daring berkembang, dari ustaz-ustaz yang menyebarkan tausiyah singkat di TikTok hingga lembaga-lembaga pesantren yang kini punya kanal YouTube resmi. Ini hal positif, karena dakwah jadi lebih mudah menjangkau masyarakat luas.
Tapi di sisi lain, media sosial juga memunculkan masalah baru. Hoaks agama, ujaran kebencian, hingga perdebatan tak berujung sering kita temui di timeline. Ada yang menyalahkan teknologinya, padahal sejatinya teknologi hanyalah alat. Yang menentukan baik buruknya tetap manusia yang menggunakannya. Di sinilah Islam menawarkan pedoman. Konsep tabayyun, larangan menyebarkan fitnah, ajaran untuk menjaga lisan, semua itu terasa sangat relevan jika diterapkan dalam dunia digital.