KAMPUNG KEPOH (Bagian Dua)

Akhmad Elvian-dok-

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

SALAH satu wilayah di Pangkal Kapo (Kepoh) di dekat sungai Kapo yang diserang oleh Bajak laut Lanun/Illanun/Irranun adalah wilayah yang dikuasai Batin Jiwad, terletak di dekat lokasi Lubuk Balaikambang, posisi sekarang letaknya di antara Desa Serdang dan Desa Jeriji (dulu kampung Petaling). 

-------------

MEREKA (maksudnya penduduk Batin Jiwad di sekitar Lubuk Balaikambang) telah banyak menderita ketika kampung mereka di dekat sungai Kapo diserang kapal bajak laut (Lange, 1850:95). Serangan Bajak laut kemudian menyebabkan mereka memindahkan pemukiman ke wilayah kampung Serdang yang sekarang. Menurut H.M. Lange, kampung Serdang berjarak 17 paal (1 paal =1.851,85 m) dari Toboali, rumah-rumah sebagian besar masyarakat kampung Serdang memiliki penampilan yang baik, dibangun berbentuk persegi dan besar, di tengah kampung berdiri Balai yang besar terbuat dari kayu. Sejauh ini yang terbesar yang saya lihat di Banka (pulau Bangka). Kampung ini pada Tahun 1846 Masehi sangat teratur dan makmur.  

Menelisik Tiga wilayah batin di sekitar sungai Kepoh, yaitu Batin Jiwad, Batin Ketapik dan Batin Gerunggang, bahwa wilayah Batin Ketapik berada pada posisi Lubuk Serampang di Sungai Kapo, letaknya lebih ke hilir dari Lubuk Balaikambang (wilayah Batin Jiwad), di daerah Lubuk Serampang berkuasa Batin Ketapik, selanjutnya ke arah hilir lagi dari Lubuk Serampang ada sebuah lubuk bernama Lubuk Sangkar Ikan dan terakhir adalah lubuk bercabang yang disebut Lubuk Gerunggang. Pada Lubuk Gerunggang dikuasai oleh seorang batin dikenal dengan nama Batin Gerunggang. Masing-masing Batin yang berkuasa di wilayah sungai Kepoh, sangat gemar mengarungi sungai dan lubuk, baik sungai yang ada di Pulau Bangka maupun sungai di Pulau Sumatera. Batin yang paling gemar mengarungi sungai adalah Batin Jiwad, beliau sudah mengarungi sungai sampai ke daerah Palembang untuk menangkap ikan-ikan di Sungai Musi. Ikan-ikan tersebut tidak hanya untuk dimakan melainkan juga untuk ditebar di lubuk dan di sungai yang ada di pulau Bangka. Lubuk yang banyak ditebar ikan oleh Batin Jiwad yang berasal dari perairan Sumatera Selatan atau Sungai Musi adalah Lubuk Sangkar Ikan. Tidaklah heran jika di perairan Bangka Selatan banyak ditemui ikan-ikan yang mirip dengan ikan-ikan di perairan Sumatera Selatan.

Keberadaan Pangkal Kepoh dan Sungai kepoh yang bermuara di pesisir Timur bagian Selatan pulau Bangka selanjutnya dapat dipelajari dari catatan residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, ketika dilakukan pemetaan wilayah pesisir Timur dan Barat Pulau Bangka. Pada masa kekuasaan Inggris di Pulau Bangka (Tahun 1812-1816) dan dalam catatan residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court, dikatakan bahwa inspeksi terakhirnya di pulau Bangka dimulainya dari sungai Merawang (sekarang disebut sungai Baturusa) ke Selatan, di sepanjang pantai Timur, dan dari situ putaran ekstrim ke arah Selatan Bangka sampai ke Toobooallie yang merupakan pos paling Selatan. Pemetaan mengalami hambatan karena musim Tenggara, sehingga tidak bisa memproyeksikan dari titik Tanjong Brekat ke arah Timurnya. Selama Dua hari tanpa ada kemajuan dan atas bantuan Kepala orang Laot yang dipekerjakan kemudian baru sampai di Kuppo (Kepoh) dan dari Tanjong Brekat ke tempat ini seluruh pantai sangat berbatu. Dari muara sungai Kuppo di siang hari keesokan harinya, terlihat sebuah pulau yang disebut Pooloo Booroong (pulau Burung), hampir ke Timur, pada jarak Duabelas mil. Kemudian ada pulau lain, yang disebut Pooloo Tingee (pulau Tinggi), yang merupakan sebuah bukit yang tinggi dengan puncak kerucut tajam, hampir ke Selatan. Disebutkan juga dalam laporan, bahwa perjalanan dari Kuppo ke Toobooallie tidak aman bagi kapal-kapal apapun. Jalur pelayaran sangat rumit dan berbatu, disebut Salat Lepur (selat Lepar), antara pantai Bangka dan beberapa pulau kecil, pulau yang terbesar disebut Pooloo Lepur (pulau Lepar). Orang Laot, yang mendiami pesisir dan pulau-pulau sekitar sini, disebut Orang Lepur. Mereka hidup berpindah, dan saya berharap mereka menjadi patuh dengan memberikan pekerjaan kepada mereka dalam pelayanan kepada pemerintah. Dari Kuppo di pantai Timur, menuju Toobooallie di pantai Barat, dengan jarak Lima jam perjalanan, atau Duabelas mil setengah (Court, 1821:192-194).

Pada masa kekuasaan Inggris di pulau Bangka (Tahun 1812-1816), wilayah Pangkal Kapo merupakan wilayah penambangan Timah yang produktif. Pada masa awal peralihan dari kekuasaan Sultan Palembang ke kekuasaan Inggris (Tahun 1812), tidak ditemukan adanya penambang Timah dari Cina, semuanya (tambang Timah) dikerjakan oleh pribumi Bangka Orang darat atau Orang Gunung (mungkin Orang Darat atau Orang Gunung menambang Timah untuk membayar tanda raja berupa Timah Tiban). Berdasarkan catatan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka M.H. Court, antara bulan Maret 1814 hingga Tahun 1816, produksi Timah yang dihasilkan oleh 78 pekerja tambang Cina di 10 tambang kecil di Kuppo (Kepoh) yang terletak sekitar 6 mil dari sungai ini (sungai Kepoh), sebesar 75 pikul, selanjutnya dijelaskan, bahwa dari 748 pikul Timah yang akan dikirim ke gudang di Toobooallie, telah dirampok oleh bajak laut dari Billiton (Belitung) di perairan bagian Selatan pulau Bangka paling ekstrem (kawasan dari muara kepoh yang memutar ke pesisir Barat pulau Bangka sampai ke Toboali), dan perampokan juga dilakukan oleh perampok yang datang dari seputaran Toobooallie (Court, 1821:193,194). 

Walaupun kekuasaan Inggris berlangsung singkat di pulau Bangka, dan terjadinya perlawanan rakyat serta penyelundupan dan perampokan, namun produksi Timah yang dihasilkan di parit-parit penambangan Timah di wilayah Toboali, termasuk Kepoh cukup besar. Dalam catatan, produksi Timah dari Tahun 1813 sampai Tahun 1816 yang dihasilkan oleh rakyat dan parit-parit di Toboali termasuk Kepoh yang diserahkan kepada East-India-Company sekitar 3.334 pikul (Court, 1821:258). Bila dibandingkan dengan keseluruhan produksi Timah di pulau Bangka yang dihasilkan dari Minto (Muntok), Jebus termasuk Kelabat, Sungaibuluh, Mampang, Jebu dan Tainam, Belinju termasuk Lumut dan Kelabat Laut, Sungailiat termasuk Mapur dan Lampur, Merawang, Pangkalpinang termasuk Koba, dengan jumlah produksi Timah sebesar 79.987 pikul, produksi Timah  dari Toboali termasuk Kepoh cukup besar dengan persentase 4,17 persen.

Pada masa kekuasaan Inggris diperoleh gambaran cukup jelas tentang kondisi beberapa pemukiman atau kampung di wilayah Toboali, umumnya pemukiman penduduk berada di hulu atau tepi sungai yang bermuara ke selat Bangka dan selat Gaspar di pesisir Timur pulau Bangka. Kawasan pemukiman penduduk atau batin diberi nama dengan nama sungainya, misalnya Kuppo (Kepoh/maksudnya Pangkal Kepoh), Neerie (Nyireh), Oolim (Olin/Olim), Ballar atau Surdang, dan Banca Cotta (Bangkakota). Kemudian ada Permisan, satu pemukiman penduduk yang terletak di kaki gunung dengan nama yang sama dengan gunung, sekitar Delapan mil dari pantai. Sarana transportasi yang digunakan untuk menelusuri sungai yang berada dekat pemukiman penduduk  adalah kolek atau sampan kecil (kano), biasanya terbuat dari batang pohon yang ditebuk/ditebok atau dilobangi. Di samping bekerja di tambang-tambang Timah, penduduk kampung juga bekerja mencari hasil-hasil hutan seperti Madu, Lilin, dan membuat kriya anyaman tikar serta melakukan aktifitas utamanya berladang atau berume yang menghasilkan padi darat. Pada umumnya kampung-kampung yang didirikan dekat sungai juga berfungsi sebagai pangkal atau pelabuhan pengumpul sebelum barang-barang diangkut atau didistribusikan ke Toboali, Mentok ataupun ke Palembang. Kebijakan pembentukan pangkal-pangkal, termasuk Pangkal Kepoh tempat kedudukan demang dan jenang yang bertugas mengawasi distribusi Timah dimulai sejak pulau Bangka di bawah kekuasaan kesultanan Palembang Darussalam, masa sultan Ahmad Najamuddin I Adikesumo  (Tahun 1757-1776 Masehi). Umumnya demang dan jenang diangkat dari kerabat sultan dan mereka berhubungan langsung dengan sultan di Palembang. Di samping mengurus distribusi Timah, para demang juga mengurus kewajiban membayar konsesi berupa Timah Tiban setiap tahunnya oleh orang pribumi Bangka kepada sultan Palembang sebagai pajak. Tiban yang diberlakukan oleh Kesultanan Palembang Darussalam terhadap daerah kekuasaan yang disebut Sindang, berupa Timah seberat 50 kati (1 kati=6 ¼ ons) dibebankan setiap tahun kepada orang pribumi Bangka yang sudah berkeluarga (Elvian, 2014:251,252). 

Ketentuan tentang Timah Tiban ini diatur dalam hukum adat Sindang Mardika pada pasal Empat yang berbunyi ”maka segala orang yang jadi kuli atau matagawe dan yang mengeluarkan Timah Tiban satu potong satu orang itu melainkan orang Bangka yang sudah berbini tetapi jikalau sudah bercerai atau sudah bermantu dengan sebab itu jadi luput di atas segala pekerjaan yang tersebut serta sudah ditentukan yang perempuan tiada boleh keluar dari tempatnya masing-masing distriknya sendiri” (Wieringa, 1990:92). Ketentuan tentang pajak Timah Tiban sebagaimana Pasal 4 hukum adat Sindang Mardika, pada masa kekuasaan Inggris dihapuskan Residen Inggris untuk Palembang dan Bangka karena dianggap Inggris memberatkan penduduk pribumi pulau Bangka dan pemerintah Inggris juga berusaha untuk menarik simpati rakyat Bangka kepada pemerintah Inggris (***/bersambung)

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan