Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Aroma Kopi, Harmoni Hati

Imelda-Dok Pribadi-

Cerpen: Imelda

EMBUN pagi yang basah masih menyelimuti dedaunan saat siang masih belum tampak. Seiring sang mentari menampakkan diri, burung-burung kian berkicau. Udara dingin di pagi hari kini berganti menjadi sinar hangat sang mentari. Kebetulan, kemarin awan-awan menghitam, air-air menetes dari langit, dan sesekali kilat tampak bercahaya. Kini, suasananya begitu indah, langit tampak cerah, dan sang mentari pun menampakkan diri dari ufuk timur.

Di Vihara Dhammaram Kota Pangkalpinang terdengar riuh rendah suara anak-anak. Mereka akan mengikuti ritual Pindapatta. Tampak bendera-bendera menghiasi halaman vihara, menambah kemeriahan. Para biksu sudah siap dengan patta-nya masing-masing.

Ritual Pindapatta merupakan tradisi agama Buddha. Dalam ritual itu, para biksu berjalan kaki untuk mengumpulkan makanan dari masyarakat. Masyarakat Buddha Kota Pangkalpinang mulai berbaris di tepi jalan menunggu biksu lewat untuk memberikan berbagai makanan, minuman, buah-buahan, ataupun yang lainnya.

Tak hanya masyarakat Buddha, ritual ini juga menarik perhatian masyarakat lain termasuk Aisyah, gadis manis muslim dengan kesederhanaannya. Pagi itu, ia sengaja datang bersama sang ayah, Pak Karim. Bukan untuk ikut memberikan makanan, melainkan untuk menikmati pemandangan kerukunan yang selalu membuat hatinya hangat. Pak Karim, seorang pemilik warung kopi kecil di dekat Vihara Dhammaram, sering bercerita tentang dirinya dan umat Buddha yang saling membantu.

"Aisyah, lihatlah, ini indahnya persaudaraan," ujar Pak Karim sambil menunjuk barisan warga yang sabar menunggu para biksu. 

"Di sinilah kita belajar tentang saling menghargai, nak," lanjutnya.

Setelah ritual usai, jalanan kembali ramai. Aisyah dan Pak Karim bergegas menuju warung kopi mereka, Kopi Pagi Karim. Aroma kopi yang baru diseduh sudah semerbak, menarik perhatian beberapa pelanggan setia. Salah satunya adalah Koh Lim, seorang pedagang hasil bumi yang juga sering menyuplai bahan baku untuk beberapa warung makan di seputar Pangkalpinang. Ia sudah duduk manis di meja favoritnya, menunggu kopi O kesukaannya.

"Pagi, Lim!" sapa Pak Karim sambil meletakkan secangkir kopi hitam pekat di hadapan Koh Lim.

"Pagi juga, Karim! Wah, harum sekali kopi kau hari ini. Tadi Pindapatta ramai sekali ya," balas Koh Lim, menyeruput kopinya dengan nikmat. 

"Aku lihat banyak juga yang bukan umat Buddha ikut menyaksikan."

Pak Karim tersenyum. "Iya, Lim. Itu Aisyah tadi ikut. Bagus dia lihat kita hidup rukun di sini."

Diskusi pagi itu berlanjut. Bukan hanya tentang ritual keagamaan, tetapi juga perputaran ekonomi di Pangkalpinang. Koh Lim bercerita tentang harga lada yang sedang naik daun. Kabar baik bagi para petani di Bangka Belitung. 

"Modal buat beli pupuk jadi ringan, Karim. Kalau lada bagus, warung kopi kau juga ikut ramai, kan banyak yang gajian," ujarnya sumringah. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan