Korban Jiwa Bertambah, Perundingan Alot, Perang Thailand-Kamboja Meluas
Perang yang Terus Meluas.-screnshot-
KONFLIK bersenjata di perbatasan Thailand dan Kamboja memasuki hari kelima pada Minggu (27/7/2025).
-----------
PERANG kedua negara meluas ke sejumlah wilayahnya. Jumlah korban tewas pun bertambah. Kini, korban jiwa dilaporkan mencapai 35 orang dan lebih dari 200.000 warga mengungsi akibat perang tersebut.
Pertempuran sengit terus terjadi di wilayah sengketa kuil Ta Muen Thom dan Preah Vihear. Kedua negara kemudian menghadiri perundingan darurat di Malaysia pada Senin (28/7/2025), atas fasilitasi Ketua ASEAN 2025, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim.
Diketahui, pertempuran dimulai pada 23 Juli 2025 dipicu oleh insiden ranjau darat di distrik Nam Yuen, Provinsi Ubon Ratchathani, Thailand, yang melukai lima tentara, satu di antaranya kehilangan kaki.
Thailand menuding Kamboja sengaja menanam ranjau baru, sementara Kamboja menyebutnya peninggalan perang saudara. Konflik memburuk dengan serangan roket, artileri, dan drone, meluas dari enam menjadi 12 titik perbatasan, termasuk Provinsi Trat (Thailand) dan Pursat (Kamboja).
Kementerian Kesehatan Thailand melaporkan 19 warga sipil dan enam tentara tewas, dengan 62 orang luka-luka. Di Kamboja, Letjen Maly Socheata, juru bicara Kementerian Pertahanan, mencatat 12 warga sipil dan lima tentara tewas, dengan 70 orang luka-luka. Sebanyak 138.000 warga Thailand dan 37.635 warga Kamboja terpaksa mengungsi. Thailand telah membuka 300 pusat evakuasi dan memberlakukan darurat militer di delapan distrik perbatasan.
Serangan paling kontroversial terjadi pada 24 Juli 2025, ketika roket Kamboja menghantam sebuah rumah sakit di Surin, Thailand, yang dikecam Menteri Kesehatan Thailand Somsak Thepsuthin sebagai pelanggaran Konvensi Jenewa.
Kamboja membalas tuduhan dengan menuding Thailand menggunakan amunisi klaster terlarang, meski Thailand menegaskan hanya menyerang posisi militer dengan jet F-16 dan drone. Terkait pertemuan bilateral di Kuala Lumpur, yang dihadiri Penjabat Perdana Menteri Thailand Phumtham Wechayachai dan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet, bertujuan mencari gencatan senjata.
Anwar Ibrahim, sebagai mediator, menyerukan kedua pihak untuk menghentikan kekerasan dan fokus pada dialog. “Kami ingin stabilitas ASEAN terjaga. Perang hanya merugikan rakyat,” ujar Anwar dalam pembukaan pertemuan.
Namun, perundingan negosiasi sepertinya berjalan alot. Thailand menuntut Kamboja menghentikan serangan sepihak sebagai syarat gencatan senjata, sementara Kamboja bersikeras Thailand menarik pasukan dari wilayah sengketa.
Kementerian Luar Negeri Thailand menyatakan “ketulusan Kamboja dipertanyakan,” merujuk pada laporan penggunaan drone pengintai dan peluncur roket BM-21 oleh Kamboja. Sementara di pihak lain, datang dari Amerika. Presiden AS Donald Trump ikut campur, mengklaim telah berbicara dengan Phumtham dan Hun Manet melalui telepon pada 26 Juli 2025.
Dalam posting di Truth Social, Trump mengancam menunda negosiasi perdagangan dengan kedua negara jika konflik berlanjut. “Saya ingin Thailand dan Kamboja damai, tapi mereka harus serius,” tulisnya.
Begitu juga China, sekutu Kamboja. Pihaknya menyerukan penyelesaian damai melalui dialog. “Kami siap berperan konstruktif,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun pada 25 Juli 2025.