Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Ngenjungak dan Mendongeng

--

Oleh S.E. Prayoga

Pekerja Teks Komersial di Pangkalpinang

DONGENG bukan sekadar cerita pengantar tidur. Ia adalah cermin dari praktik bahasa lisan yang paling tua dan paling alami dalam sejarah umat manusia. Sebelum kata-kata dicetak, sebelum aksara dikenali, manusia sudah lebih dulu bercerita. 

Lewat dongeng, generasi terdahulu menyampaikan nasihat; menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain terlalu jauh; menyisipkan harapan; dan kadang menyamarkan kritik dalam kisah binatang dan makhluk gaib. Dalam konteks itu, dongeng adalah bahasa dalam bentuknya yang paling cair. Ia tidak hanya hanya mengajar, tetapi juga membentuk.

Sebagaimana bahasa dan cerita yang menyebar dan berubah bentuk dari waktu ke waktu, istilah untuk menyebut dongeng pun mengalami hal serupa. Di berbagai tempat, dongeng diberi nama yang berbeda. Di Jawa ada babad, di Bugis ada pattotoro, dan di Minang ada tambo. 

Lalu, di Belitung, muncul satu istilah yang akhir-akhir ini menjadi bahan perbincangan: ngenjungak. Bukan berasal dari tradisi tutur tua atau dari hikayat lama, tetapi dari ruang yang sangat kontemporer, grup Facebook Ngenjungak Republik Kelekak, sebuah komunitas daring yang dikenal karena unggahan cerita-cerita satir, jenaka, dan kadang absurd khas warga Belitung.

Secara harfiah, ngenjungak dalam bahasa Melayu Belitung berarti “melihat” atau “menjenguk.” Wajar jika ada pihak  yang keberatan ketika kata ini diusulkan sebagai padanan istilah dongeng. “Kok dongeng disebut ‘melihat’?” begitu kira-kira protes yang muncul. Namun, bagi saya, keberatan semacam itu justru menarik karena hal itu menunjukkan bahwa bahasa dan makna tidak selalu berjalan lurus. Sebuah kata bisa lahir dari makna lama, masuk ke ruang baru, lalu berubah fungsi secara perlahan. Ngenjungak yang awalnya berarti melihat menjadi identitas digital dan kini dipakai untuk menyebut cerita lucu dan menggelitik khas masyarakat Belitung.

 

Dalam ilmu bahasa, perubahan makna seperti itu bukanlah hal asing. Kita mengenalnya sebagai perluasan atau penyempitan makna. Kata syair, misalnya, berasal dari bahasa Arab sya‘ara yang bermakna ’merasakan; pandai’, tetapi dalam bahasa Indonesia maknanya menjadi jenis puisi. 

 

Kata novel, dari Latin novellus ’baru’, kini, maknanya menjadi karya fiksi berupa prosa yang panjang. Bahkan, kata canggih yang dulu bermakna ’banyak cakap; bawel’, kini digunakan untuk menyebut teknologi yang mutakhir. Semua itu menunjukkan bahwa arti kata tak selalu tetap. Ia bergerak mengikuti konteks, zaman, dan penuturnya.

 

Begitu pula dengan ngenjungak. Dalam konteks Republik Kelekak, ia bukan sekadar ’melihat’, melainkan ’melihat dengan geli’, ’melihat dengan niat menyimak cerita lucu’, atau bahkan ’membaca dengan gaya mendengar’ karena narasi-narasi yang diunggah di grup tersebut sangat berirama, nyaris bisa didengar suaranya meski dibaca dalam diam. Ketika ratusan hingga ribuan anggota grup tertawa dan terlibat dalam komentar, ngenjungak pun menjelma menjadi aktivitas kebahasaan yang hidup dan interaktif, seperti mendongeng secara lisan, hanya saja di dunia digital.

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan