Baca Koran babelpos Online - Babelpos

Prosedur Layanan yang Samar Pemicu Malaadministrasi

--

Oleh: Dicky Wahyudi
Mahasiswa Universitas Pertiba Program Magang Ombudsman RI

SEBAGAI lembaga pengawas penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman RI mempunyai tugas penting dalam memastikan setiap proses penyelenggara pelayanan publik tetap optimal. Dalam praktiknya, salah satu fokus pengawasan yang dilakukan Ombudsman RI adalah memastikan terlaksananya pelayanan yang sesuai prosedur.

Hal itu ditengarai banyaknya kesamaran prosedur dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang justru menjadi salah satu pemicu utama terjadinya malaadministrasi. Lantas, mengapa prosedur samar dapat menjadi pemicu yang membuka celah terjadinya praktik maladministrasi yang merugikan masyarakat luas?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),  kata "samar" memiliki makna 1) kabur; 2) tidak kelihatan nyata; 30 kurang jelas. Dalam konteks prosedur pelayanan publik yang samar, istilah ini mengambarkan kondisi di mana informasi tentang prosedur dan mekanisme pelayanan publik tidak sampai ke masyarakat atau sulit diketahui  oleh masyarakat.

Dalam proses penyelenggaraan pelayanan publik yang baik, masyarakat setidaknya mengetahui sedikit tentang alur dan persyaratan dalam proses pelayanan yang dibutuhkan. Untuk prosedur lanjutan yang lebih mendalam, informasi ini bisa saja didapatkan secara langsung  berupa imbauan dari pelaksana layanan atau berupa informasi tertulis yang bisa terlihat dan diketahui dengan mudah.

Prosedur yang samar dapat menjadi pemicu malaadministrasi karena sifatnya yang multivalensi dan tidak pasti. Istilah "multivalensi" dalam konteks prosedur pelayanan publik yang samar mengacu pada kondisi di mana prosedur yang ada memiliki banyak kemungkinan, seperti interpretasi, makna, dan cara pelaksanaan yang berbeda-beda.

Hal ini disebabkan oleh standar baku suatu kebijakan, prosedur, atau standar layanan yang sudah, tapi tidak tersampaikan secara jelas yang mengakibatkan timbulnya pemahaman berbeda oleh pihak penyelenggara maupun masyarakat penerima layanan. Kesamaran dan interpretasi yang luas adalah akar yang menjadi permasalahan utama ketika prosedur tidak tersampaikan secara rinci.

Pelayanan publik yang berkualitas tidak dapat dilepaskan dari adanya standar pelayanan yang jelas dan terukur. Pandangan tersebut pun sejalan dengan pendapat Pangkey et al (2023) dengan buku yang berjudul Manajemen Pelayanan Publik menyatakan “Setiap instansi perlu memiliki prosedur dan aturan pelayanan yang jelas, tidak tumpang tindih, serta memuat informasi penting seperti dasar hukum, syarat, dan waktu penyelesaian, agar pelayanan dapat berjalan lebih efektif dan mudah diakses masyarakat.”

Namun, dalam praktiknya banyak instansi publik yang belum memiliki standar pelayanan tersebut secara tertulis atau gagal menerapkannya secara konsisten. Akibatnya, muncul berbagai bentuk malaadministrasi, seperti ketidaktepatan prosedur, waktu layanan yang tidak pasti, hingga pungutan liar akibat tidak transparannya biaya layanan.

Ketika standar pelayanan tidak ditegakkan, akhirnya masyarakat kehilangan kepastian layanan dan akses atas hak dasarnya. Oleh karena itu, penyusunan dan pelaksanaan standar pelayanan bukan sekadar pemenuhan formalitas administratif, melainkan bagian esensial dalam mencegah malaadministrasi dan memastikan pelayanan publik yang adil, transparan, dan akuntabel.

Sebagai contoh ketika kita sebagai masyarakat datang ke dinas kependudukan untuk mengurus dokumen penting seperti KTP, akta kelahiran, atau surat pindah domisili. Sesampainya di ruang pelayanan, sebagai pengguna layanan pandangan mata tidak menemukan papan informasi yang menjelaskan apa saja syarat yang dibutuhkan, alur layanan seperti apa yang harus diikuti, berapa lama waktu penyelesaian, berapa tarif yang harus dibayar, ataupun apa produk akhir yang akan diterima.

Dalam situasi seperti ini,  tentu hal ini akan merasa kebingungan untuk melanjutkan proses dan kemungkinan besar harus bertanya ke banyak petugas, dan belum tentu akan mendapatkan jawaban yang sama. Tanpa panduan tertulis atau terbuka, pelaksana layanan cenderung beroperasi berdasarkan pemahaman atau kebiasaan pribadi.

Akibatnya, layanan yang sama dapat memiliki alur, waktu, atau persyaratan yang bervariasi tergantung pada petugas dan waktu pelayanan. Inkonsistensi inilah yang secara jelas menunjukkan multivalensi dalam praktik sehari-hari.

//Amanat Undang-Undang untuk Pelayanan Prima
Dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang prima dan bebas malaadministrasi, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menjadi landasan hukum yang fundamental.

Secara spesifik, Pasal 21 dari undang-undang ini merinci komponen standar pelayanan yang wajib dipenuhi oleh setiap penyelenggara layanan. Dari keempat belas komponen yang diamanatkan, "prosedur" berada pada komponen ketiga, menegaskan posisinya sebagai elemen krusial yang tidak bisa ditawar.

Amanat ini sejalan dengan kekhawatiran yang saya sampaikan sebelumnya mengenai prosedur samar di lapangan. Ketika undang-undang secara gamblang menuntut adanya prosedur yang jelas, mudah dipahami, dan transparan, praktik di mana informasi prosedur tidak tersedia atau sulit diakses justru menjadi kontradiksi serius.
Kondisi ini kemudian membuka celah bagi interpretasi ganda, inkonsistensi pelaksanaan, hingga potensi diskriminasi, yang pada akhirnya memicu malaadministrasi. Dengan demikian, implementasi yang serius terhadap Pasal 21 angka 3 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yaitu sistem, mekanisme dan prosedur, harus disajikan dengan jelas adalah kunci untuk menjamin kepastian layanan, mencegah penyimpangan, dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap kinerja pelayanan pemerintah.

//Membangun Kepastian Layanan
Memperhatikan betapa pentingnya pemenuhan komponen standar pelayanan diatas, sudah saatnya pemerintah daerah di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berkomitmen penuh untuk menjadikan setiap layanan publik transparan dan akuntabel.

Dengan standardisasi prosedur, pemanfaatan teknologi, dan pengawasan yang ketat, kita dapat membangun kinerja pelayanan publik secara optimal yang bebas maladministrasi, responsif, dan berintegritas. Ini bukan hanya tentang memenuhi tugas, melainkan tentang mengembalikan kepercayaan publik dan memastikan hak-hak masyarakat terpenuhi sepenuhnya.


Prosedur yang tidak jelas juga dapat menyebabkan patologi dalam pelayanan. Patologi birokrasi adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan berbagai bentuk penyimpangan atau penyakit dalam sistem birokrasi yang menyebabkan birokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Tanpa adanya panduan yang seragam dan rata dalam proses penegakan regulasi yang ada, akan ada potensi perlakuan berbeda terhadap pemohon berdasarkan kedekatan, kepentingan, atau bahkan hal-hal non-prosedural.

Hal ini dapat merusak prinsip keadilan dan kesetaraan yang seharusnya menjadi fondasi pelayanan publik. Oleh karena itu diperlukan keseriusan dari seluruh penyelenggara untuk segera menyusun dan menetapkan standar pelayanan. Dan tidak berhenti disitu, kalau sudah ditetapkan wajib dijalankan sebagaimana mestinya.

Kembali diingatkan bahwa prosedur yang samar tidak semata-mata menjadi penyebab utama terjadinya maladministrasi, tetapi sudah bisa kita pastikan dapat berpotensi menyebabkan malaadministrasi. Permasalahan ini tentunya tidak hanya menjadi tanggung jawab sepihak, peran serta pengawas internal (seperti atasan langsung, pengawas fungsional atau inspektorat) dan pengawas eksternal (seperti  masyarakat, Ombudsman, DPR/DPRD) harus terus dioptimalkan.

Dengan demikian, akselerasi pemenuhan pelayanan publik prima dapat diupayakan dengan serius agar dapat mendorong terciptanya pelayanan publik yang transparan, akuntabel, dan berkeadilan di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.



Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan