Baca Koran babelpos Online - Babelpos

SUNGAILIAT ATAU SUNGAILEAT (Bagian Tiga)

Akhmad Elvian-screnshot-

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP

Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung

Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

 

MAKSUDNYA Epp tentang Baturusak (Merawang) yang disatukan dengan distrik Sungailiat adalah, bahwa letak Baturussak (Marawang), di sungai dengan nama yang sama yaitu Sungai Marawang, dan nama Sungai Marawang kemudian menjadi nama wilayah distriknya. 

-------------------------

(SEBUTAN nama Sungai Marawang kemudian diubah oleh masyarakat dengan Sungai Baturusak ketika Pemerintah Hindia Belanda pada Tahun 1851 membangun jembatan di Sungai Merawang dekat Kampung Baturusak, sehingga kemudian disebutlah jembatan Baturusak dan Sungai Baturusak). Baturusak (Merawang)  adalah pemukiman berbenteng dengan rumah sakit yang melayani Garnisun Distrik Blinju, Sungiliat, Baturusak, Pankalpinang, dan Songiselan. Pada masa saya (masa Epp di Bangka), lokasi tersebut hanya dikelilingi oleh pagar kayu. Kota tersebut (maksudnya benteng) dikelilingi oleh hutan di seluruh wilayah, dan daerah sekitarnya sama sekali tidak diolah. Di antara Sungiliat dan Baturusak terletak Merawang, kampung Tionghoa terindah di Banka. Distrik ini disatukan dengan Sungiliat, dan keduanya berada di bawah satu administrator pada masa saya (masa Epp di Bangka). Penduduk Marawang meliputi: Marawang 809 penduduk, Depak 986 Penduduk, Djerok 1130 penduduk, dan Gronggang 802 Penduduk. Dalam konteks ini sangat jelas, bahwa Baturusak dan Merawang merupakan kampung yang berbeda, karena dijelaskan bahwa Kampung Marawang terletak antara Baturusak dan Sungailiat, akan tetapi nama distrik menggunakan nama Marawang dan orang orang China menyebut Merawang dan Baturusak dengan sebutan Liusak. Merawang, juga disebutkan sebagai kampung Tionghoa terindah di Pulau Bangka.

Antara Tahun 1819-1828 dan 1848-1851 khususnya di Distrik Sungailiat dan Marawang dan umumnya di Pulau Bangka, berkecamuk perang rakyat melawan Pemerintah Hindia Belanda dipimpin oleh Depati Bahrin dan Depati Amir. Untuk mengatasi perlawanan rakyat Bangka yang dipimpin Depati Bahrin di daerah Jeruk (Distrik Marawang und Sungailiat), Pemerintah Hindia Belanda mendatangkan kesatuan kaveleri dari legiun Raja Akil (Mayor Akil) dari Siak serta Kolonel Pangeran Ario Praboe Prang Wedono dari Legiun Mangkunegaran Jawa Tengah, serta kesatuan infanteri di bawah pimpinan Kapten Du Perron. Letnan Kolonel Aukes dalam bukunya Het Legioen Van Mangkoe Nagara mencatat, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada tanggal 28 Maret 1820 mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke Pulau Bangka. 

Pada Tahun 1828, Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengutus seseorang jururunding bernama Launy untuk melakukan perundingan dengan Depati Bahrin dan Pemerintah Hindia Belanda berjanji memberikan kompensasi gaji atau tunjangan sebesar 600 gulden setahun dan membangun tempat tinggal atau kampung bagi Depati Bahrin (village Depatti Bahrin) di Kampung Mendara, apabila menghentikan perlawanan kepada Pemerintah Belanda. Upaya perundingan yang dilakukan menunjukkan, bahwa pasukan militer Belanda kewalahan dalam menghadapi perlawanan rakyat dan karena militer Belanda ingin lebih berkonsentrasi dalam menghadapi perlawanan rakyat di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro pada Tahun 1825-1830 Masehi (Elvian, 2006:13). Tawaran perundingan damai kemudian diterima Depati Bahrin karena memikirkan kepentingan rakyat Bangka yang lebih besar yaitu akibat berlarut-larutnya peperangan, akan menyebabkan perladangan terlantar dan rakyat Bangka terancam kelaparan.

Dalam catatan sejarah, khususnya dari koran koran Belanda, setelah perang rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Bahrin, Pulau Bangka termasuk di Distrik Sungailiat und Marawang menjadi tidak aman karena intensitas serangan dari Bajak Laut. Usaha Administrator administrator distrik di Pulau Bangka untuk menyerang para perompak di darat gagal dan juga usaha beberapa kepala kampung untuk mengalahkan mereka di laut dengan perahu bersenjata juga menemui kegagalan. Berdasarkan Inofficieele gedeelte, dalam Javasche Courant, 28 April 1847, lembar ke-2, dinyatakan, bahwa antara Tanggal 25 dan 27 Maret beberapa perahu perompak terlihat di Sungai Liat. Kemudian pada Tanggal 30 Maret 1847, Delapan perahu perompak yang pada hari itu berlayar melewati Sungai Liat, menangkap Dua orang Cina dan Dua orang Pribumi. Akan tetapi mereka ditembaki oleh kapal patroli pemerintah De Haai. Selanjutnya dalam berita pada Koran Belanda, “Kolonien” dalam Nieuwe Rotterdamsche Courant, tanggal 30 Juni 1847, lembar ke-1, bahwa pada Tanggal 2 April 1847, dan Tanggal 4 April 1847, kapal jelajah Nomor 56, berada di dekat Tanjung Layang, Sungai Liat mengejar dan menembaki Empat perahu perompak. Depati Amir yang menggantikan Depati Bahrin sebagai kepala rakyat di Bangka bersama 30 orang pengikutnya ikut menumpas Bajak laut (Bakar,1969,25).

Perlawanan rakyat Bangka kemudian dilanjutkan dipimpin oleh Depati Amir. Pulau Bangka bahkan ditetapkan dalam status staat van beleg (darurat perang). Perlawanan dipicu oleh sebab khusus yaitu tuntutan Depati Amir atas haknya kepada Pemerintah Belanda untuk segera membayar sisa hutang Timah di Distrik Sungailiat sebesar 150 gulden yang belum dibayar oleh tuan kongsi Sungailiat (Bakar, 1969:31). Tuntutan Depati Amir disertai dengan ancaman akan menghancurkan parit-parit Belanda di Distrik Merawang dan Sungailiat jika tuntutannya tidak dikabulkan. Tuntutan Depati Amir tidak digubris oleh tuan Kongsi Sungailiat. Ancaman penghancuran terhadap parit parit penambangan Timah oleh Depati Amir terbukti; berdasarkan surat Administratur Distrik Sungai Liat kepada Residen Bangka, Sungailiat 22-8-50 Nomor 450, segera (ANRI: geheim, Bt. 17-9-50 No. 1). Saya haturkan kepada anda, saya mendapat kabar bahwa detasemen di Tjingal tak berubah, tempat itu sunyi, dan diperoleh pemasukan lain di sini di wilayah Tjingal terdapat tambang yang terbesar di Bangka, dengan perolehan 9.000 pikul Timah per tahun disetor kepada pemerintah, seluruhnya tak terlindungi dan terbuka dari tindakan sewenang wenang pemberontak, sedang di wilayah itu hanya didapati pekerja tambang, itu akan dapat dikuasai, dan hal seperti itu di seluruh pulau akan dapat terjadi, juga yang ditakutkan Amir sebagaimana Ia telah lakukan pada tambang Nomor 18 di Tjingal, tambang tersebut diserang dan dibakar, pada hal tempat tinggalnya dari Tjingal hanya berjarak 10 sampai dengan 12 paal. Dalam surat saya 17-1-1850 No. 39 dan 7-3-1850 No. 131, memohon secepatnya dikirim pasukan ke Tjingal. Saya beritahukan juga, di Sungailiat terdapat pemberontak, tak ada detasemen yang ditempatkan disitu, perlindungan terhadap tambang-tambang alami hal yang sama, detasemen di Layang tak mungkin dikirim kesitu, bahkan setelah penempatan detasemen disitu, 12 tambang di Kotakudai, Bedunkang, Mapur, Bukit Layang dirampok atau dibakar. Dalam surat saya tanggal 13-7-1850 No. 397, menanyakan penempatan detasemen di Layang. Atas pertanyaan itu diperoleh surat tanggal 19-7-1850/ La X/IV, diberitahukan tak ada pasukan lagi yang dapat dikirim, sedang tambang-tambang yang lain dibanding jumlah pemberontak yang ada di distrik-distrik perlu mendapat pertolongan. Kebanyakan pekerja dan pemilik tambang memihak kepada Amir karena Pemerintah Kolonial Belanda tidak memberikan jaminan keamanan bagi mereka terutama dari penjarahan terhadap tambang-tambang Timah dan harta bendanya. 

Setelah dikejar, dikepung, dikhianati dan ditangkap, Depati Amir, berdasarkan Keputusan Pemerintah Hindia Belanda Nomor 3, Tanggal 4 Februari 1851, diputuskan, bahwa Depati Amir, dihukum dengan dibuang seumur hidup ke Keresidenan Timor, dan disana akan tinggal di bawah pengawasan polisi. Pengikut terakhir dari Depati Amir bernama Oemang dan Roesin di distrik Blinyu dan Sungailiat terus melakukan perlawanan pada Bulan Agustus 1864.  Suasana ketakutan dan kembali memanas di Pulau Bangka. Oemang berhasil ditangkap oleh Administratur Vosmaer pada Tanggal 12 Agustus 1864, dan kemudian Roesin ditangkap oleh Demang Abdul Sukur pada Tanggal 15 Agustus 1864, keduanya di penjara di Dua distrik tersebut. Menurut catatan Belanda, bahwa Oemang meninggal 2 bulan setelah ditahan akibat sakit perut, sedangkan Roesin karena selalu berkeliaran (selalu dapat keluar dari sel tahanan) oleh Landraad Bangka diperintahkan menjadi “Orang Rantean” atau Orang Rantai dan melakukan kerja paksa dikirim ke Padang dan dipekerjakan secara paksa di Tambang Batubara Sawahlunto, pada Tanggal 11 November 1867, berdasar Besluit pemerintah Hindia Belanda Tanggal 24 Agustus 1867, Nomor 10. (Bersambung/***)

 

 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan